Mohon tunggu...
Pena Profetik
Pena Profetik Mohon Tunggu... -

Penulis, menetap di bumi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia Pers, Dunia Tokoh Bangsa

4 Mei 2010   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ki Hajar Dewantara tidak hanya menjadi salah seorang tokoh pendidikan di negeri ini. Ia juga salah satu tokoh pers. Bung Karno dan Bung Hatta tak jauh berbeda. Dua tokoh itu juga bergiat di dunia pers dalam upaya menuangkan gagasan dan pemikirannya.

Demikian dituturkan Direktur Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta Hendra Sugiantoro dalam Sekolah Kepemimpinan yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FT UNY) di Ruang Teater 1 FT UNY, Minggu (2/5). Kegiatan ini dihadiri mahasiswa FT UNY dalam upaya membedah student development program terkait jurnalistik.

Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas, Hendra Sugiantoro memaparkan lebih jauh tentang Ki Hajar Dewantara. “Pernah pemerintahan kolonial hendak merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis, Ki Hajar membuat tulisan protes dan kritik berjudul Andaikan Aku Seorang Nederland. Karena tulisan itu, pemerintah kolonial berniat memberikan hukuman kepada Ki Hajar. Ki Hajar bukannya takut, malah kian berani dengan mengeluarkan tulisan lagi berjudul Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu yang terbit di De Expres pada 28 Juli 1913,” ungkap Hendra Sugiantoro.

Lebih lanjut Hendra Sugiantoro menjelaskan, pelbagai penerbitan surat kabar pernah dirambah Ki Hajar sebagai jurnalis atau kontributor tulisan, antara lain Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaya Timoer, dan Poesara. Saat diasingkan di negeri Belanda, Ki Hajar juga mengelola majalah Hindia Poetra dengan jargon Makmoerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!

Selagi muda, kata Hendra Sugiantoro, Bung Karno pernah membantu penerbitan Oetoesan Hindia. Ketika menjadi mahasiswa di Bandung, Bung Karno membantu penerbitan surat kabar Sama Tengah. Keluar dari Sama tengah, Bung Karno terlibat dalam penerbitan surat kabar Fajar Asia. Tak tanggung-tanggung Bung Karno juga pernah menerbitkan majalah yang langsung di bawah pimpinannya. Majalah-majalah itu adalah Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Rakyat. “Bung Hatta pada usia 18 tahun membuat tulisan Namaku Hindania! yang dimuat di majalah Jong Sumatera. Bung Hatta juga mengelola majalah Hindia Poetra milik Perhimpunan Indonesia ketika kuliah di negeri Belanda. Dari negeri Belanda, Bung Hatta juga turut memantau dan membantu majalah Daulat Rakyat yang terbit di Indonesia,” tambah Hendra Sugiantoro.

Di zaman penjajahan, tutur Hendra Sugiantoro, pers tak dimungkiri telah membangun kesadaran nasional. Pers terus berperan sampai detik ini. Betapa hebatnya pers sehingga penguasa pun seringkali takut. “Bung Karno yang di zaman pergerakan nasional aktif dalam dunia pers, ketika berkuasa pernah juga membreidel penerbitan pers. Apalagi di zaman Orde Baru, penerbitan pers hampir sulit bernafas. Konon Napoleon Bonaparte lebih takut dengan seorang jurnalis ketimbang tiga batalyon militer. Bayangkan, tiga batalyon militer sebanding dengan seorang jurnalis!” kata Hendra Sugiantoro yang juga Ketua Umum Forum Indonesia ini.

Dalam kesempatan ini, Hendra Sugiantoro tak henti-hentinya memotivasi agar mahasiswa berani menuangkan gagasan dan pemikiran lewat tulisan. Dikatakan Hendra Sugiantoro, “Setiap gagasan dan pemikiran perlu dituliskan dan disebarluaskan. Asalkan baik tak perlu takut menerbitkan tulisan. Penerbitan pers kampus adalah sarana efektif menyebarkan gagasan dan pemikiran. Bahkan, tak masalah jika setiap mahasiswa menerbitkan media kampus sendiri. Tak hanya di kampus, menulis untuk media massa di luar kampus juga perlu dilakukan.”

Kartini pun tak hanya menulis surat, tambah Hendra Sugiantoro. Kartini juga menulis untuk majalah-majalah terbitan Belanda. Tokoh perempuan lain yang perlu dicatat adalah Rohana Kudus. “Rohana Kudus pernah menerbitkan surat kabar Soenting Melaju. Surat kabar ini dikhususkan bagi perempuan. Belajar dari tokoh-tokoh bangsa, kita menyadari pentingnya pers bagi upaya penyebaran gagasan dan pemikiran. Haji Agus Salim ketika mudanya juga menjadi penulis aktif untuk surat-surat kabar Belanda, bahkan pernah memimpin penerbitan Neratja selama tujuh tahun. Begitu juga Mohammad Natsir dan Buya Hamka,” tutur Hendra Sugiantoro.

Dengan mengutip kata-kata Wahtini, Hendra Sugiantoro mengatakan bahwa penulis adalah pemimpin. “Penulis memimpin dengan ide dan pemikiran. Tokoh-tokoh bangsa menulis, ide dan pemikirannya masih terekam, bahkan menjadi pandangan masyarakat sampai kini. Peran pers tak mungkin dinafikan sehingga gagasan dan pemikiran bisa tersebar. Yang perlu ditekankan, kita menulis dan menerbitkan media massa harus mendidik masyarakat, menyebarkan ilmu, dan mengajak kepada kebaikan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun