ANIES: MULANYA KRITIK FPI, AKHIRNYA RANGKULAN FPI
Anies Baswedan adalah tokoh intelektual muda yang dikenal luas melalui gagasan-gagasanya tentang pendidikan, kebangsaan dan ke Indonesiaan. Selama ini Anies memang aktif turun tangan dalam gerakan pendidikan sebagai wujud atas amanah UUD 1945 yang dia istilahkan sebagai upaya melunasi janji kemerdekaan. Sebagai tokoh berpemikiran terdidik yang mengerti bahwa Indonesia dibangun diatas foundasi keberagaman, Anies pun dikenal dengan pandangan-pandangannya tentang tenun kebangsaan. Menurut Anies, Negara ini didirikan dari berbagai etnis, agama, keyakinan, bahasa, serta kondisi geografis yang unik[1]. Keberagaman ini dijahit menjadi satu kesatuan utuh dalam sebuah tenun yang Anies istilahkan sebagai tenun kebangsaan. Lebih jauh Anies berpandangan bahwa negara ini tidak didirikan untuk melindungi kelompok yang berjumlah besar (mayoritas) juga tidak untuk melindungi kelompok yang berjumlah kecil (minoritas). Tapi negara ini berkewajiban melindungi seluruh warga negaranya tanpa memandang etnis, agama, bahasa, maupun daerah asalnya.
Setelah memutuskan terjung kedunia politik, Anies Baswedan meninggalkan jabatan Rektor di Universitas Paramadina lalu ikut bergabung dalam Konvensi Calon Presiden yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat. Gagal menjadi Calon Presiden Partai Demokrat rupanya hasrat politik Anies semakin menggila, bukannya kembali menjadi Rektor, Anies malah memilih bergabung kedalam tim sukses Jokowi-JK melawan Prabowo-Hatta pada Pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2014. Sebagai tim sukses Jokowi-JK, Anies dipercaya menjadi juru bicara (Jubir) tim pemenangan untuk menjembatani komunikasi politik Jokowi-JK kedalam dan keluar, termasuk kepada media. Melalui posisi juru bicara, Anies kemudian leluasa menyerang dan mengkritisi habis-habisan Probowo dan FPI. Salah satu serangan dan kritikan Anies kepada Prabowo adalah mengenai ketidak jelasan komitmen dan keberpihakan Prabowo dalam isu keberagaman. Anies mempertanyakan komitmen Prabowo tentang heterogenitas yang menurutnya bertentangan dengan kenyataan karena merangkul FPI yang dinilainya sebagai kelompok ekstrimis. “Janji Prabowo yang seakan berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme yang ada di Indonesia. Tapi, dia justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI”[2](Anies).
Pandangan Anies tentang keberagaman, kebangsaan dan ke Indonesiaan memang cukup kuat. Di setiap pertemuan formal maupun informal, Anies selalu menempatkan isu keberagaman sebagai isu utama yang harus dipelihara bersama, dan meniadakan ruang bagi kelompok intoleran seperti FPI untuk merusak atau merobek keindahan tenun kebangsaan. Bahkan dalam acara yang diselenggarakan pada tanggal 5 juli 2012 di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Anies pernah mengungkapkan bahwa pemerintah pusat cenderung melakukan pembiaran terahadap kelompok intoleran. Selain melakukan kritik terhadap pemerintah pusat, saat itu Anies juga mempertanyakan konsistensi negara sebagai pengayom dan pelindung masyarakat cenderung gamang dalam mengahadapi kelompok intoleran yang melakukan kekerasan atas nama agama untuk menindas kelompok minoritas. "Sayangnya, pemerintah justru cenderung membiarkan sikap-sikap intoleran, Aparat negara juga gamang saat menangani kasus intoleransi, khususnya kekerasaan agama dan kekerasan terhadap kelompok minoritas”(Anies)[3]. Menurut Anies, pemerintah memang tidak dapat menghukumi pemikiran intoleransi, tapi ketika pemikiran intoleransi itu diejawantahkan dalam praktek kekerasan maka pemerintah dan aparat negara berkewajiban menindak tegas orang atau kelompok yang melakukannya. "Pemerintah memang tidak dapat menghukum orang dengan pemikiran intoleran. Tetapi saat pemikiran itu diwujudkan menjadi sikap intoleransi dan bahkan menciptakan kekerasan, aparat wajib menindaknya," kata Anies. Riwayat pemikiran Anies memang tidak bisa dilepaskan dari corak keberagaman, kebangsaan dan ke Indonesiaan. Anies bahkan menjadi satu dari beberapa pemikir kebangsaan yang secara tegas menolak kelompok ekstrimis, kelompok intoleran, dan kelompok yang ingin mengubah Ideologi Pancasila menjadi Ideologi Islam. FPI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah dua dari beberapa kelompok ekstrimis, intoleran, yang ingin mengubah Pancasila menjadi Khilafah Islamia sangat bertentangan dengan pemikiran tenun kebangsaan seorang Anies Baswedan.
Melihat sepakterjang Anies yang memiliki hasrat kuasa tinggi, tentu dia tidak akan tinggal diam demi mendapatkan kembali kekuasaan. Pilkada DKI Jakarta rupanya mengusik hasrat kekuasaan Anies yang semakin menggila. Hasrat kekuasaan Anies yang sangat tinggi itu rupanya dibaca oleh Partai Gerindra dan PKS yang juga dilanda oleh dahaga kekuasaan. Atasnama keinginan berkuasa, Baik Anies maupun Partai Gerindra dan PKS sama-sama melupakan masa lalu yang pernah diisi lewat acara saling serang antara Anies dan Ketua Partai Gerindra (Prabowo) di Pilpres 2014 lalu. Perdamaian itu membuahkan hasil yang menguntungkan Anies, kedua partai tersebut rela menyingkirkan kadernya sendiri demi mempersebahkan tiket Calon Gubernur kepada seorang Anies. Merasa untung dari upaya perdamaian itu, Anies kemudian berubah 180 derajat yang semula menyerang Prabowo berbalik memuji dan menyanjung Prabowo. Tidak cukup sampai disitu, FPI yang dulunya diserang sebagai kelompok ekstrimis dan intoleran itu tidak luput dari rangkulan Anies[4]. Pilihan politik Anies sangat diluar dari prediksi dan harapan publik, Anies yang dikenal tegas terhadap kelompok ekstrimis dan intoleransi kini bersekutu dengan kelompok itu demi memenuhi hasrat kuasa menjadi seorang Gubenur DKI Jakarta. Hasrat kekuasaan Anies yang kuat telah mengalahkan pikiran dan nurani kebangsaannya, sehingga FPI yang dulunya diserang sebagai kelompok ekstrimis berpotensi mengancam keutuhan bangsa, kini telah dirangkulnya untuk memenangkan Gubernur Islam sebagaimana telah dikehendaki FPI.