TUBUHKU nyaris babak belur dikeroyok massa gara-gara menulis dan membaca puisi dalam sebuah pentas seni tingkat desa. Tapi Tuhan selalu punya cara untuk mengubah nasib manusia. Malam itu di halaman balai desa diadakan pentas seni menyambut hari penting. Setiap dukuh menampilkan atraksi sesuai hobi masing-masing. Sekitar pukul sembilan kami saya dkk mendapat jatah naik panggung. Kami menampilkan musikalisasi puisi.
Akulah sutradara di belakang layar. Sorimin, Arini, Suharti dan Wiwin kupercaya membawakan puisi satire berjudul Hura-Hura Hari Kemerdekaan yang sudah kupersiapkan beberapa hari sebelumnya.Puisi yang cukup menyengat telinga. Isinya mengritisi acara perayaan HUT Kemerdekaan di kampong yang monoton dan cenderung bernuansa hura-hura. Siang hari karnaval menyusuri jalan-jalan desa diiringi group marching band dilanjutkan makan-makan dan malam harinya petas wayang, sintren, dan dangdut.
Beda jauh dengan perayaan HUT kemerdekaan saat aku masih di sekolah dasar. Usai upacara bendera di halaman sekolah anak-anak diberi nasi bungkus dansebuah bendera merah-putih berukuran mini. Dengan suka cita anak-anak kampung melambai-lambaikan merah putih sambil meneriakkan yel-yel: merdeka! Namun romantika herois itu hilangtergerus putaran zaman. Perayaan kemerdekaan berubah menjadi pesta-pora adu girang tanpa renungan. Itulah yang kukritisi lewat puisi dengan bahasa yang lugas agar mudah dipahami kaum awam.
Sorimin yang memiliki suara lantang membacakan bait demi baitdiiringi tiupan harmonikamengantarkanlagu syukur karya KH Muntahar. Ratusan pengunjung mendekati panggung.Sekejap suasanahening tercipta bersama tiupan harmonica yang mengharukan mengawali pembacaan bait-bait puisi.Orang-orang terkesima dengan mulut menganga.Di tengah acara, suasana panas mulai muncul. Sejumlah pemuda berteriak garang.
“Turun!”
“Cepat turun!!!”
“Turuuuuuun……”
“Hai! Cepat tutun!
Makin lama
Pentas terus berjalan dan teriakan kian menjadi-jadi. Beberapa pemuda berwajah sangar mencoba naik panggung namun dicegah petugas keamanan.Mereka memaki-maki, bahkan sempat menyebut nama parpol terlarang.
Usai pembacaan puisi suasana tambah gaduh. Segerombolan pemuda mendekati aku. “Kamu yang bikin puisi kan?” tebak seorang pemuda yang tak kukenal namanya sambil menarik-narik lenganku.Pemuda lainnya mengacung-acungkan kepalan tangan kea rah wajahku. Sejumlah anggota panitia mencoba menenangkan suasana. Kami digiring masuk balai desa untuk menghindari amukan massa. Seorang pemuda memaksa masuk dan mengejarku. Menggebrak-gebrak meja sambil mengucapkan kata-kata kotor. Sorimin, Arini, Suharti dan Wiwin diam, tubuhnya gemetaran.
“Berani macam-macam, awas kamu!” ancam pemuda itu. Sorot matanya menancapkan aura kebenciandan dendam yang mendalam. “Pemerintah saja tidak melarang sintren, tapi berani-beraninya kamu melarang,” sambungnya.
“Siapa melarang sintren? Saya tidak pernah melarang sintren.” Aku membantah.
“Bohon! Puisi yang dibaca tadi menghina pertunjukan sintren.Kamu kan yang bikin?”
“Dari mana kamu tahu?”
Tak ada jawaban.
“Kamu memang PKI! Tuh lihat orang-orang di luarsiap menghajarmu!”.
Pemuda ceking itu mengepalkan tangan dan nyaris menempeleng kepalaku, namun dicegah salah seorang panitia.
“Silahkan pukul saya! Silahkan!” tantang saya.
Ia terkejut, wajahnya mengkerut mendengar tampukanku. Terpaksa aku buka suara karena berkali-kali dihujat dengan sebutan PKI. Semua tahu, tiga abjad itu telah menjadi frase yang berhubungan dengan kekejaman dan kenistaan.
Sekitar seperempat jam aku dan teman-teman diteriaki hujatan dan intimidasi.“Ayo bawa keluar. Kita hajar beramai-ramai,” teriak yang di luar. Balai desa sudah dikepung. Panitia sempat kuwalahan menghadapi emosi warga. Pikiranku buntu, tidak tahu bagaimana menyelamatkan diri. Aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga Tuhan mengirimkan bantuan.
Ketegangan mereda setelah Pak Lurah Cipto datang. “Ada apa rebut-ribut?” Tanya Pak Lurah dengan nada pelan. Laki-laki berpenampilan santun mencoba menenangkan keadaan.Setelah suasana mereda, panitia menyuruh kami meninggalkan balai desa. Kami pulang dikawal beberapa anggota hansip.
Aku sempat ragu melangkahkan kaki keluar dari balai desa. Kulihat puluhan pemuda masih menghadang di depan pintu dengan sorot mata meradang. Sebagian mengikuti dari belakang. Untuk menghindari kejaran pemuda kami dikawal melintasi jalur setapak lewat pematang di belakang balai desa. Kamidiantar sampai perbatasan kampong dan selamat sampai rumah tanpa luka secuilpun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H