[caption caption="Saat berada di Depan Gedung DPR. Foto: By Misbah"][/caption]
Seorang wanita berusia 54 tahun bersama 5 anaknya, memilih hijrah ke Makassar karena hak-haknya sebagai warga negara Indonesia tidak dipenuhi oleh Negara. Walaupun ia mengetahui bahwa hidup di kota jauh lebih keras ketimbang hidup di desa, ia tetap memberanikan diri untuk mengadu nasib di kota Makassar.
Siang itu, aku bersama seorang sahabatku menuju pusat kota Makassar untuk membeli beberapa buku pelajaran. Di bawah sinar matahari yang membakar Tubuh, Kami berkeliling kota untuk mencari tokoh buku.
Tokoh yang berbaris rapi dalam ruangan tertutup, Satu persatu kami memasuki . Setiap kali mempertanyakan judul buku pelajaran, jawaban yang kami dapatkan cuma satu, yaitu ” maaf , buku yang anda cari tidak ada. Sekarang buku itu tidak diproduksi lagi. kalau anda mau saya ambilkan buku yang lebih bagus dan lebih rinci pembahasannya .” Jawaban itu tidak mempengaruhi semangat kami untuk tetap berusaha mencari tokoh buku yang menyediakan buku tersebut.
Alhamdulillah, setelah berkeliling kurang lebih 4 jam, akhirnya kami menemukan tokoh buku yang menyediakan buku pelajaran bahasa Arab yang dari tadi kami cari. Rasa senang dan bahagia pun menyelimuti kami.
Di tengah perjalanan menuju rumah, kami mampir di salah satu warung kopi pinggir jalan. “ bu’ pesan kopinya dua ya,” kataku serambi menghampiri kursi yang disediakan. Rasa penasaran mengantarkanku pada sebuah pertanyaan kenapa kaki ibu bengkak?. Dengan Gaya bahasa yang penuh penghormatan, ibu itu menjawab “bulan lalu, aku terpeleset akhirnya kakiku tergilir. Saya telah mendatangi beberapa dokter. Mereka hanya mengatakan bahwa kaki ibu tidak apa-apa Insya Allah sebentar lagi sembuh. Tapi sudah sebulan in,i kaki saya masih bengkak dan terasa sakit.”
Setelah mempersilakan kami meminum kopi buatannya, ibu itu kemudian melanjutkan ceritanya. Tapi dengan tema berbeda. Kali ini ia bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan.
Ibu itu bernama Baya, kelahiran Wajo’. Ia tak pernah mengetahui bagaimana rasanya duduk di bangku sekolah. Tapi, dalam berbisnis ia memiliki analisa yang cukup bagus. Alasannya memilih kota sebagai tempat berjualan karena perputaran ekonomi di kota lebih besar dari pada di desa. Dan juga, kota sangat berpeluang untuk dijadikan tempat bisnis karena jumlah penduduknya jauh lebih besar. Dalam kacamata beliau, ketika berjualan di desa, pengunjung paling banyak 5-6 % sehari, tapi kalau di kota, pengunjungnya bisa 8-10%. Tapi itu juga bergantung pada kelihaian kita dalam melihat posisi strategis. Kalau kita berjualan di lorong-lorong kota, penghasilan yang kita dapatkan dalam sehari maksimal 150-250 ribu. Tapi, kalau kita berjualan di pinggir jalan poros yang padat akan lalu lintas, maka penghasilan kita minimal 300 ribu. Jadi, pada dasarnya, salah satu faktor pendukung kesuksesan dalam berjualan adalah kepandaian kita dalam menentukan tempat strategis.
Selain itu, faktor mendasar yang mengharuskan beliau memilih pindah ke kota adalah faktor ekonomi. Beliau berkata “waktu masih gadis, saya memilih untuk tetap tinggal di desa dengan alasan kehidupan di desa jauh lebih baik ketimbang kota. Di desa, orang-orang masih mempertahankan budaya tolong menolong, gotong royong, dan saling memberi. Ditambah lagi, kita tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli sayur-sayuran dan rempah-rempah, cukup minta sama tetangga yang punya lahan sayur dan rempah-rempah, kita sudah bisa makan enak. tapi di kota, orang bisa hidup kalau dia punya uang. kalau tidak, dia akan mati kelaparan. Tapi setelah menikah, saya memilih pindah ke kota, walaupun kerasnya kehidupan kota menghantuiku, tapi demi keberlangsungan hidup dan masa depan anakku, saya tetap memilih untuk pindah ke kota ini. Anak saya harus sekolah setinggi mungkin untuk meraih cita-citanya sehingga kehidupannya bisa lebih baik dari pada kehidupan ibunya. Walaupun pembayaran sekolah sangat mahal, saya akan tetap berusaha menyekolahkan mereka.”
Kisah ibu itu seakan menitip pesan bahwa Negara tercinta ini hanya milik orang-orang tertentu, karena kesejahteraan hanya berpihak pada orang tertentu. Negara seharusnya berperan sebagai super Hero untuk menyelamatkan masyarakatnya dari kebutuhan ekonomi. Bukan malah menguras kekayaan alam melalui perusahaan-perusahaan asing.
Dimuat juga di web Pribadi saya: Cek di sini