Mohon tunggu...
Nazilatul Lailiyah
Nazilatul Lailiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Konsisten dalam segala hal baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Flexing, Riya, Dakwah: (Kajian Hadis tentang Istidraj)

8 Oktober 2024   16:01 Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era media sosial, fenomena flexing atau pamer kekayaan dan prestasi pribadi semakin marak. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan konsep riya’ dalam Islam, yaitu sikap pamer untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari manusia. Imam Al-Ghazali mendefinisikan Riya sebagai amal vang dilakukan untuk disaksikan orang lain agar mendapatkan kedudukan dan popularitas. Aktivitas Riya seperti ini dapat dilakukan dengan amal ibadah maupun non-ibadah. Bahasa sederhana dari definisi Riya, jika ada orang yang melihat kemudian dia merasa senang, maka hal tersebut sangat mendorong semangatnya untuk melakukan hal baik, namun jika tidak ada yang melihatnya, maka merasa berat untuk melakukannya. Dengan demikian Riya berarti suatu perbuatan yang dilakukan bukan karena mengharap ridha Allah, tetapi hanya mencari pujian, sanjungan, dan popularitas semata.

Dalam kajian hadis, ada konsep istidraj yaitu nikmat yang Diberikan Allah kepada orang-orang Yang mengingkari-Nya, setiap orang Tersebut ingkar kepada Allah, Allah Langsung memberikan nikmat kepada Mereka. Begitupun seterusnya ketika Mereka berbuat maksiat lagi, Allah Tambah lagi nikmat kepada mereka. Sehingga orang tersebut mengira Bahwa Allah menyayangi mereka, Padahal nikmat tersebut hakikatnya Hanyalah tipuan Allah terhadap mereka Agar bertambah dosa mereka. Dan pada Akhirnya Allah akan memberi mereka Azab yang sangat pedih di akhirat.

Fenomena flexing yang melibatkan pamer kekayaan atau pencapaian di ruang publik, khususnya melalui media sosial, menjadi salah satu bentuk manifestasi dari riya’. Sifat riya’ itu tergantung pada mutu, kemurnian, dan keikhlasan niatnya, bisa mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudharat dan siksaan tergantung pada niatnya. Dalam literatur Islam, di dalam buku Ihya Ulumudin, Al Ghazali mengatakan kata riya berasal dari kata al-ru’yah (melihat) sementara Sum’ah berasal dari kata sima’(mendengar). Jika dicermati secara menyeluruh Maka riya’ dapat di definisikan sebagai prilaku yang menunjukkan sesuatu Dengan maksud agar orang orang melihatya, dengan harapan memperoleh Pengakuan atau posisi yang dianggap lebih tinggi dari mereka. Secara lebih mendalam, Al-Ghazali mengartikan riya’ sebagai perilaku Yang khususnya ditujukan untuk memperoleh penghargaan di mata manusia. Esensinya, riya’ Adalah tindakan yang dilakukan di hadapan orang lain dengan motif Terselubung untuk mendapat pujian dan perhatian dari mereka.

Dengan cara menunjukkan amal ibadah kepada mereka Hal ini merupakan salah satu cabang dari kesombongan yang dikecam dalam banyak hadis, seperti dalam riwayat Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Allah tidak menerima amal yang dilakukan dengan niat pamer (Musnad Ahmad).

Fenomena riya’ dan kesombongan ini dapat dijelaskan lebih lanjut dalam konteks istidraj, sebuah konsep yang disebut dalam hadis untuk menggambarkan keadaan di mana seseorang yang terus melakukan maksiat namun tetap diberikan kenikmatan duniawi. Allah memperingatkan dalam hadis bahwa istidraj adalah bentuk cobaan, bukan rahmat, yang dapat memperdaya orang-orang yang lalai (HR. Ahmad dan Thabrani).

Dalam konteks dakwah, literatur tentang riya’ dan istidraj ini menggarisbawahi pentingnya peran dakwah dalam mengingatkan umat agar tidak tergelincir dalam sikap pamer yang justru menjauhkan mereka dari keikhlasan ibadah dan rahmat Allah. Dakwah yang efektif adalah yang mampu menyadarkan pentingnya niat yang tulus dan kewaspadaan terhadap jebakan duniawi.

Dari beberapa penelitian sebelumnya terdapat persamaan dan Perbedaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah Sama sama meneliti dan membahas mengenai prilaku flexing yang ada di Media sosial. Sedangkan perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu Fokus pembahasan yang sebelumnya membahas flexing secara umum yang Mana semata mata berpusat pada pamer harta kekayaan dan pencapaian baik Dari perspektif hadis maupun Al-Quran, sedangkan penelitian ini membatasi Pokok masalah yaitu flexing yang berkaitan dengan Istidraj. Dengan demikian Penelitian ini lebih spesifik membahas terkait fenomena-fenomena flexing yang bisa menimbulkan istidraj. Pembahasan dari penelitian-penelitian sebelumnya masih terlalu luas Sementara penelitian ini sudah mengerucutkan pembahahasan sehingga lebih Dalam mengkaji hanya pada lingkup riya’ dan istidraj.

Penelitian ini menerapkan metode kualitatif melalui studi Kepustakaan (library research), di mana data dikumpulkan dan dianalisis secara Deskriptif berdasarkan kajian literatur yang diperoleh, meliputi teks tertulis, Ucapan, dan perilaku yang dapat diamati, serta analisis terhadap aktivitas Sosial, sikap, fenomena, peristiwa, dan kepercayaan yang dilakukan secara Individu maupun kelompok. Sumber data yang digunakan penulis dalam Penelitian ini yaitu Al-Quran dan kitab tafsir sebagai data primer dan data sekundernya di ambil dari berbagai sumber yang telah ada berupa website, jurnal, tesis dan artikel yang kajiannya berkorelasi dengan penelitian ini.

Dengan demikian judul ini dikaji dan diteliti oleh penulis karena fenomena yang marak terjadi di era media sosial, di mana banyak orang melakukan flexing atas kekayaan yang berasal dari sumber-sumber yang diharamkan dalam Islam, seperti riba, judi online, korupsi, dan lain-lain. Meskipun sebagian dari mereka mengajak orang lain melalui konten flexing-nya untuk menjadi kaya agar bisa saling membantu dan melakukan kebaikan lainnya, fenomena ini tetap berpotensi besar menimbulkan riya’ bahkan bisa menjadi istidraj bagi para pelakunya. Oleh karena itu, penting untuk saling mengingatkan agar mencari rezeki dari jalan yang halal dan berdakwah untuk saling bersedekah serta berbagi, terutama jika Allah menganugerahkan kekayaan.

 Urgensitas dalam artikel ini semata mata untuk mengingatkan para influencer dan masyarakat pada umumnya agar terhindar dari kesalahan dalam memilih jalan mencari nafkah serta menggunakan harta benda mereka dengan benar dalam kehidupan sosial di era media sosial, sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya dalam syariat Islam. Dengan demikian, mereka tidak termasuk golongan orang yang mengalami istidraj.

Jalan keluar dari permasalahan ini yaitu dengan mempelajari kembali syariat Islam secara mendalam, memilih pekerjaan yang halal, dan jika terlanjur terlibat dalam pekerjaan yang haram, segera bertaubat dan meninggalkannya. Selanjutnya, mencari pekerjaan yang halal serta menggunakan harta benda tidak untuk berfoya-foya atau flexing di media sosial demi mendapatkan pengakuan sebagai “orang kaya,” karena hal ini justru sangat berbahaya jika seseorang jatuh ke dalam istidraj. Penelitian ini akan mengkaji lebih dalam bagaimana fenomena flexing, riya’, dan konsep istidraj berhubungan, serta pentingnya dakwah dalam mengarahkan umat agar tetap berada di jalan yang lurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun