Analisis hukum dan strategis terhadap China Military Power Report (CMPR) 2024 dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang dirilis pada 18 Desember 2024, menyajikan evaluasi komprehensif mengenai perkembangan militer Tiongkok, termasuk peningkatan kapabilitas, transformasi strategis, dan dampaknya terhadap hukum internasional, terutama dalam konteks keamanan global. Dokumen ini memberikan penilaian mendalam dari perspektif hukum, teknis, dan strategis, menawarkan wawasan tentang bagaimana peningkatan kekuatan militer Tiongkok mempengaruhi stabilitas internasional dan kesepakatan hukum di bidang keamanan.
Dalam perspektif hukum internasional terhadap modernisasi militer Tiongkok, laporan China Military Power Report (CMPR) 2024 dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat mencatat bahwa peningkatan hulu ledak nuklir Tiongkok menjadi lebih dari 600 unit, serta investasi dalam silo rudal, kapal selam, dan pesawat pembom, memerlukan evaluasi ulang terhadap kepatuhan Tiongkok terhadap perjanjian internasional seperti Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) dan Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT). Pasal VI NPT meminta negara-negara untuk mengejar perlucutan senjata nuklir, yang bisa bertentangan dengan peningkatan arsenal nuklir Tiongkok. Selain itu, Article X CTBT, yang melarang uji coba senjata nuklir, relevan jika modernisasi teknologi nuklir Tiongkok melibatkan pengujian bawah tanah atau atmosferik. Pengembangan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dapat mencapai Amerika Serikat menimbulkan ketegangan regional dan mempengaruhi stabilitas hukum internasional, meskipun Tiongkok bukan penandatangan Hague Code of Conduct against Ballistic Missile Proliferation (HCOC). Transformasi Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) menjadi kekuatan multi-kapal induk menimbulkan isu hukum di bawah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), terutama terkait Pasal 87 tentang kebebasan navigasi dan Pasal 94 tentang kepatuhan terhadap standar internasional dalam keselamatan dan manuver kapal.
Kemajuan Tiongkok dalam teknologi nuklir dan elektronika, seperti pengembangan kapal selam nuklir dan UAV, menunjukkan penerapan dual-use technology yang dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan militer. Meskipun Tiongkok bukan anggota Wassenaar Arrangement, ekspor teknologi sensitifnya dapat menimbulkan ketegangan jika mencapai negara-negara yang dikenai embargo. Peraturan domestik seperti Arms Export Control Act (AECA) di Amerika Serikat mungkin mencoba membatasi akses Tiongkok terhadap teknologi ini melalui sanksi. Selain itu, investasi dalam komputasi kuantum dan bioteknologi mengindikasikan integrasi teknologi canggih dalam doktrin militer Tiongkok, yang perlu dievaluasi terhadap Biological Weapons Convention (BWC) dan kebijakan terkait dual-use research of concern (DURC). Jika bioteknologi digunakan untuk pengembangan senjata biologis, hal ini akan melanggar Pasal I BWC, yang melarang senjata biologis dalam bentuk apa pun, dan Geneva Protocol 1925, yang melarang penggunaan senjata kimia dan biologis dalam konflik bersenjata.
Ekspansi Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) di Laut China Selatan meningkatkan ancaman terhadap negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, meskipun pada tahun 2016 Pengadilan Arbitrase Permanen menyatakan bahwa klaim Tiongkok atas "Nine-Dash Line" tidak memiliki dasar hukum di bawah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Tiongkok tetap memperkuat posisinya dengan kekuatan militer. Selain itu, peningkatan kemampuan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menimbulkan risiko serius terhadap keamanan Taiwan, yang diakui oleh hukum domestik Amerika Serikat melalui Taiwan Relations Act (TRA) Pasal 2(b), yang menegaskan kewajiban Amerika Serikat untuk memberikan dukungan pertahanan bagi Taiwan.
Amerika Serikat harus memperkuat diplomasi multilateral untuk memastikan kepatuhan Tiongkok terhadap norma internasional, termasuk mendorong ratifikasi Arms Trade Treaty (ATT) oleh Tiongkok dan memperkuat koalisi hukum dengan mitra regional melalui latihan multinasional yang didukung hukum internasional seperti Exercise Malabar. Sebagai tanggapan terhadap ancaman dari Tiongkok, prioritas kebijakan pertahanan dapat mencakup peningkatan integrasi sistem pertahanan rudal regional dengan Jepang dan Korea Selatan di bawah kerangka Mutual Defense Treaty, pengembangan strategi serangan siber ofensif dan defensif sesuai dengan Tallinn Manual on the International Law Applicable to Cyber Warfare, dan memperkuat pendekatan asimetris melalui teknologi seperti hypersonic glide vehicles dan UAV swarm.
Laporan CMPR 2024 menggarisbawahi peringatan mendesak bagi komunitas internasional terkait peningkatan kekuatan militer Tiongkok. Analisis ini menekankan perlunya memperkuat kerangka hukum internasional, memperkuat aliansi strategis, dan memastikan kesiapan militer terhadap ancaman potensial. Dengan pendekatan hukum yang konsisten dan strategi adaptif, Amerika Serikat bersama mitra globalnya dapat menjaga stabilitas dan keamanan internasional di tengah dinamika geopolitik yang berubah cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H