Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Peningkatan Produksi Jet Tempur J-15 China Jadi Game-Changer di Indo-Pasifik?

24 Desember 2024   19:10 Diperbarui: 24 Desember 2024   19:10 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peningkatan produksi jet tempur J-15 China hingga 40 unit per tahun menjadi perhatian strategis yang mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Sebagai pesawat tempur yang beroperasi dari kapal induk, J-15 merupakan komponen utama dari Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (People's Liberation Army Navy atau PLAN). Selain signifikansi militer, perkembangan ini juga membawa konsekuensi terhadap hukum internasional, terutama dalam hal kebebasan navigasi, perselisihan teritorial, dan perlombaan senjata di wilayah tersebut.

Konstruksi dan peningkatan armada J-15 China, yang sangat terkait dengan klaim teritorial di Laut China Selatan, telah memicu sengketa berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Artikel 87 UNCLOS menjamin kebebasan laut lepas, termasuk kebebasan navigasi dan penerbangan, sementara kegiatan militer China seperti patroli kapal induk dapat melanggar pasal 58(1) UNCLOS jika mengganggu hak negara lain dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dalam kasus Philippines v. China (2016), Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) menolak klaim nine-dash line China. Penggunaan mesin D-30 Rusia dalam J-15 menimbulkan isu transfer teknologi militer di bawah Wassenaar Arrangement (1996), yang mengatur kontrol ekspor teknologi militer sensitif. Menurut Pasal 51 Piagam PBB, negara berhak atas pertahanan diri, namun peningkatan kemampuan serangan China bisa dinilai melampaui kebutuhan tersebut, melanggar prinsip jus ad bellum. Operasi militer ofensif dengan J-15 harus mematuhi jus in bello, termasuk prinsip proporsionalitas dan pembedaan dalam hukum humaniter internasional.

Pesawat J-15, hasil adaptasi dari Su-33, memanfaatkan desain sayap lipat yang cocok untuk operasi dari kapal induk, dengan struktur sayap yang dilengkapi leading-edge slats dan flaps untuk stabilitas pada kecepatan rendah, terutama saat diluncurkan dari ski-jump ramp. Mesin D-30 turbofan buatan Rusia yang digunakan pada J-15 menghasilkan daya dorong hingga 123 kN dengan afterburner, namun ketergantungan pada teknologi asing menimbulkan tantangan keberlanjutan. China berusaha mengembangkan mesin WS-10 buatan dalam negeri untuk mencapai kemandirian teknologi, meskipun masih menghadapi tantangan reliabilitas dibandingkan mesin Barat seperti General Electric F414. Avionik utama J-15 adalah radar JL-10A multi-mode dengan kemampuan look-down/shoot-down untuk misi udara-ke-udara dan udara-ke-darat. Namun, kemampuan JL-10A masih kurang dibandingkan dengan radar AESA (Active Electronically Scanned Array) milik F/A-18 Super Hornet dalam jangkauan dan resistensi terhadap gangguan elektronik. Persenjataan J-15 meliputi rudal udara-ke-udara PL-12 dan PL-15 dengan jangkauan hingga 200 km, yang memberikan keunggulan dalam superioritas udara, meskipun integrasi rudal ini pada platform kapal induk memerlukan optimalisasi lebih lanjut untuk efektivitas misi di lingkungan dengan ancaman tinggi.

Produksi 40 unit jet tempur J-15 per tahun oleh China menggarisbawahi ambisi maritimnya yang intensif, memungkinkan PLAN (People's Liberation Army Navy) untuk mengoperasionalkan lebih dari 100 unit J-15 guna mempertahankan kehadiran di Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Pasifik Barat. Peningkatan ini dapat memicu perlombaan senjata dengan respons dari negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, yang kemungkinan akan memperkuat kerjasama militer mereka melalui Quad (AS, Jepang, India, dan Australia), termasuk pembaruan sistem pertahanan berbasis kapal induk seperti F-35C. Sejalan dengan visi Made in China 2025, pengembangan J-15 menandai langkah signifikan menuju otonomi teknologi pertahanan. Dalam jangka panjang, varian baru J-15 dengan teknologi siluman dan mesin domestik yang lebih andal dapat memperkuat dominasi China di kawasan Indo-Pasifik.

Indikator modernisasi agresif angkatan laut China terlihat dari peningkatan produksi J-15 yang mengarah pada tantangan stabilitas kawasan dari perspektif hukum, teknikal, dan strategis. Pemantauan tindakan China diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip hukum internasional seperti UNCLOS dan hukum humaniter. Secara teknis, meski ada batasan dalam kemampuan J-15, inovasi domestik menunjukkan potensi menutup kesenjangan teknologi dengan negara Barat. Ke depan, implikasi strategi ini akan sangat menentukan dinamika keamanan global, terutama di kawasan Indo-Pasifik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun