Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Strategi Israel di Suriah: Mengapa Dunia Harus Memahami Dinamika Golan?

15 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   12:25 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Staf Militer Israel Herzi Halevi (Source: Hasiolan Gultom)

Dataran Tinggi Golan secara resmi diakui sebagai bagian dari Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 (1967), yang menyerukan agar Israel menarik diri dari wilayah yang didudukinya setelah Perang Enam Hari, namun Israel mencaplok wilayah ini pada 1981 melalui Golan Heights Law, tindakan yang dianggap "batal demi hukum" oleh masyarakat internasional menurut Resolusi DK PBB 497 (1981). Ketika Israel melancarkan serangan udara dan menduduki zona penyangga di Golan pasca jatuhnya Assad, tindakan ini dipandang melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB yang melarang penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah negara lain. Israel berdalih bahwa tindakannya merupakan bentuk pembelaan diri berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, tetapi argumen ini lemah karena tidak ada serangan langsung dari Suriah setelah Assad tumbang. Tindakan Israel lebih tepat disebut preventive defense, sebuah konsep yang masih diperdebatkan dalam hukum internasional karena syarat ancaman langsung dan nyata (imminent threat) tidak terpenuhi, menjadikan langkah ini kontroversial dari sudut pandang hukum.

Israel melancarkan serangan udara ke Suriah dengan target menghancurkan gudang senjata, pangkalan militer, dan pusat penelitian strategis, bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata kimia maupun konvensional ke kelompok seperti Hizbullah yang dianggap ancaman strategis. Dalam operasi ini, Israel menggunakan teknologi canggih seperti pesawat F-35 dengan sistem avionik mutakhir dan kemampuan stealth, memungkinkan serangan presisi tinggi terhadap fasilitas militer dan depot amunisi yang berpotensi digunakan oleh kelompok ekstremis. Kekhawatiran Israel terhadap senjata kimia milik rezim Assad juga menjadi alasan utama, karena mereka takut senjata ini jatuh ke tangan kelompok bersenjata non-negara seperti Al-Qaeda atau ISIS. Meskipun dugaan penggunaan senjata kimia dalam konflik sebelumnya dijadikan dasar untuk melegitimasi serangan ini, tindakan tersebut tetap kontroversial dalam konteks hukum internasional.

Dataran Tinggi Golan memiliki nilai strategis besar bagi Israel karena topografinya yang dominan memungkinkan pengawasan luas terhadap Suriah dan sekitarnya. Namun, perebutan zona demiliterisasi di wilayah ini melanggar Perjanjian Pelepasan 1974 yang diawasi oleh Pasukan Pengamat PBB (UNDOF) dan menuai kecaman dari negara-negara Arab yang menganggapnya sebagai pendudukan ilegal. Dari sisi keamanan, Israel mengklaim langkah ini penting untuk mencegah serangan lintas perbatasan oleh kelompok bersenjata yang beroperasi di Suriah, tetapi tindakan tersebut meningkatkan ketegangan regional dan risiko terjadinya konflik berskala besar di Timur Tengah, menjadikannya isu sensitif dalam hukum internasional dan geopolitik.

Setelah jatuhnya Assad, Suriah berubah menjadi medan persaingan kekuasaan internasional dengan berbagai aktor terlibat; Amerika Serikat dan sekutu Barat berupaya mendukung stabilitas kawasan sambil menekan Iran dan Rusia, Rusia berusaha mempertahankan pengaruhnya di Suriah, Iran memanfaatkan wilayah tersebut sebagai jalur suplai senjata untuk Hizbullah, dan Turki fokus menekan kelompok Kurdi di perbatasannya. Dalam situasi ini, Israel mengambil langkah strategis untuk memastikan pengaruh Iran dan Hizbullah tidak meluas di Suriah dengan melemahkan infrastruktur militer negara itu, sebuah upaya yang ditujukan untuk mengamankan posisinya di kawasan yang penuh ketegangan geopolitik.

Berdasarkan hukum internasional, tindakan Israel di Suriah dapat dianggap melanggar beberapa ketentuan utama, termasuk Pasal 2(4) Piagam PBB yang melarang penggunaan kekerasan terhadap negara lain, Resolusi Dewan Keamanan PBB 497 (1981) yang menegaskan bahwa Dataran Tinggi Golan adalah bagian dari Suriah, dan Perjanjian Pelepasan 1974 yang melarang kegiatan militer di zona demiliterisasi. Meski demikian, Israel berdalih bahwa tindakannya adalah bentuk "self-defense" sesuai Pasal 51 Piagam PBB, tetapi klaim ini diperdebatkan karena ancaman yang dihadapi dianggap tidak langsung atau nyata, sehingga legalitasnya tetap menjadi isu kontroversial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun