Pesawat pengebom JH-XX yang dikembangkan oleh China mencerminkan langkah signifikan dalam upaya modernisasi militer negara tersebut, dengan implikasi yang mencakup dimensi teknologi, strategi, dan hukum internasional. Diperkirakan mengadopsi desain flying wing untuk memaksimalkan stealth, JH-XX mengurangi radar cross-section, jejak panas, dan deteksi akustik, sehingga meningkatkan efektivitas operasionalnya sesuai prinsip proporsionalitas dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dilengkapi dengan teknologi supercruise untuk penerbangan supersonik tanpa afterburner serta kemampuan pengisian bahan bakar di udara, pesawat ini memperluas jangkauan misi, memungkinkan penetrasi strategis ke wilayah lawan. Sistem avionik canggihnya termasuk radar Active Electronically Scanned Array (AESA), yang memperkuat kesadaran situasional sekaligus meminimalkan interferensi dengan penerbangan sipil sebagaimana diatur oleh Konvensi Chicago (1944). Selain itu, kemampuannya membawa senjata nuklir menempatkan JH-XX sebagai elemen penting dalam triad nuklir China, tetapi sekaligus memunculkan tantangan baru bagi negosiasi internasional di bawah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Dengan semua keunggulan teknologinya, JH-XX tidak hanya menunjukkan ambisi geopolitik China, tetapi juga mempertegas posisi strategisnya di tengah dinamika hukum internasional dan keamanan global.
Kemunculan pesawat pengebom JH-XX memiliki potensi besar untuk memperkuat dominasi regional China, terutama jika dikembangkan dalam varian angkatan laut yang dapat dioperasikan dari kapal induk, yang akan memperluas pengaruhnya di Asia Timur dan kawasan Pasifik. Kehadirannya dapat digunakan untuk mendukung klaim teritorial di Laut China Selatan, yang sering kali menjadi sumber ketegangan dengan negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, sementara legalitas tindakan militer di kawasan tersebut bergantung pada ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Di sisi lain, kemampuan China dalam meniru dan memodifikasi teknologi militer asing, seperti yang terlihat pada pesawat J-35 yang menyerupai F-35 buatan Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa JH-XX mungkin juga mengikuti pola serupa. Hal ini menimbulkan potensi diskusi hukum terkait pelanggaran Perjanjian Wassenaar tentang kontrol ekspor senjata dan teknologi ganda, meskipun China bukan penandatangan perjanjian tersebut. Implikasi strategis ini menempatkan JH-XX sebagai simbol ambisi geopolitik dan kemampuan industri militer China di panggung internasional.
Pengembangan pesawat pengebom strategis seperti JH-XX dan H-20 berpotensi mengubah lanskap negosiasi pengendalian senjata internasional, terutama karena China belum menjadi pihak dalam perjanjian bilateral seperti New START yang telah ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia, menunjukkan preferensinya untuk mempertahankan kebebasan strategis. Upaya mengintegrasikan China dalam kerangka multilateral, seperti yang diusulkan melalui Traktat Pelarangan Uji Coba Senjata Nuklir Komprehensif (CTBT), dapat membantu mengurangi risiko perlombaan senjata. Dalam konteks Hukum Humaniter Internasional (HHI), setiap penggunaan senjata strategis, termasuk JH-XX, harus mematuhi prinsip proporsionalitas---kerugian sipil yang diakibatkan tidak boleh melebihi manfaat militer yang diperoleh---dan prinsip diskriminasi, sebagaimana diatur dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (1977), yang mengharuskan pemisahan tegas antara target sipil dan militer. Selain itu, kemajuan teknologi yang diwakili oleh JH-XX dapat digunakan oleh China sebagai instrumen dalam diplomasi internasional, tetapi harus sesuai dengan Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang ancaman kekerasan kecuali untuk pertahanan diri atau berdasarkan mandat Dewan Keamanan. Dengan memperkuat kemampuan strategisnya, JH-XX menjadi simbol kebangkitan militer China yang menghadirkan tantangan bagi stabilitas global, menekankan kebutuhan akan kerangka hukum internasional yang lebih kuat untuk mengelola proliferasi senjata strategis ini dan memastikan modernisasi militer tetap sejalan dengan prinsip-prinsip hukum demi menjaga keseimbangan geopolitik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI