Letnan Kolonel Purnawirawan Daniel Davis mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, mengusulkan agar Ukraina menerima kekalahan dalam perangnya melawan Rusia dan mengejar negosiasi untuk mengakhiri konflik. Pernyataan ini menimbulkan beragam implikasi dalam perspektif hukum internasional, strategi militer, dan geopolitik. Analisis ini bertujuan untuk membahas konflik tersebut secara komprehensif dengan fokus pada aspek hukum perang, strategi militer, dan dampak diplomatik yang ditimbulkan. Dari segi hukum internasional, invasi Rusia ke Ukraina jelas melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan negara lain, mengingat Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB seharusnya bertanggung jawab dalam menjaga perdamaian dunia.
Lebih lanjut, jika Ukraina terpaksa menyerahkan wilayah dalam proses negosiasi, hal ini dapat dianggap melanggar Helsinki Final Act (1975), yang melarang perubahan perbatasan secara paksa. Ukraina, berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, memiliki hak untuk membela diri secara individu atau kolektif, termasuk dengan bantuan dari negara-negara NATO dan mitra lainnya. Bantuan militer dari Amerika Serikat dan sekutu NATO untuk Ukraina sah menurut hukum internasional, asalkan tidak melibatkan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa atau penggunaan senjata ilegal. Namun, pengiriman rudal hipersonik dan barang dual-use oleh Rusia perlu dievaluasi lebih lanjut dalam konteks hukum humaniter untuk memastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip perlindungan kemanusiaan.
Dalam perspektif strategi militer, Rusia unggul dalam hal jumlah pasukan, kapasitas senjata hipersonik, dan sistem logistik yang mendukung operasional mereka. Meskipun demikian, kegagalan Rusia untuk meraih kemenangan cepat mengungkapkan kelemahan dalam perencanaan strategis serta menurunnya moral pasukan. Sementara itu, Ukraina mengandalkan teknologi militer canggih, termasuk drone Bayraktar TB2 dan sistem pertahanan modern seperti HIMARS, namun terbatas oleh sumber daya dan waktu yang ada, yang membuat pertahanan mereka semakin sulit. Meskipun lebih dari $64 miliar bantuan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat untuk mendukung Ukraina, efektivitas bantuan ini telah dipertanyakan, karena peningkatan intensitas perang sejak 2023 menunjukkan bahwa dukungan tersebut belum mampu mengubah jalannya konflik secara signifikan. Di sisi lain, penggunaan rudal hipersonik Oreshnik oleh Rusia untuk menyerang fasilitas militer di Dnipro memperlihatkan kemajuan dalam sistem propulsi dan bahan material yang mampu bertahan dalam tekanan ekstrem, yang meningkatkan eskalasi perang. Di pihak Ukraina, meskipun mereka mengandalkan sistem pertahanan canggih, masalah logistik dan kebutuhan akan integrasi cepat teknologi baru dalam struktur militer mereka menjadi hambatan besar dalam memperkuat daya tahan mereka di medan perang.
Dalam konteks diplomatik dan geopolitik, negosiasi perdamaian yang mengharuskan Ukraina mengakui kekalahannya akan menciptakan preseden buruk dalam hukum internasional, di mana agresor dapat memperoleh keuntungan dari pelanggaran hukum, yang bertentangan dengan doktrin jus cogens yang melarang agresi sebagai norma yang tidak dapat diganggu gugat. Di sisi lain, dukungan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump diperkirakan akan mendorong pendekatan diplomasi yang lebih pragmatis, termasuk kemungkinan negosiasi cepat. Namun, tekanan domestik di AS turut memengaruhi kebijakan luar negeri mereka dalam hal ini. Jika Ukraina mengalami kekalahan, kredibilitas NATO dalam menjaga keamanan kolektif di wilayah Eropa Timur akan terguncang, yang akan memperkuat posisi Rusia sebagai kekuatan dominan di kawasan tersebut. Di samping itu, Rusia menerima dukungan terbatas namun strategis dari sekutu-sekutunya, seperti Iran yang menyediakan pasokan drone dan China yang memberikan dukungan ekonomi, hal ini memungkinkan Rusia untuk mempertahankan strategi tekanan militer yang berkelanjutan terhadap Ukraina.
Dalam perspektif hukum humaniter, penggunaan rudal hipersonik oleh Rusia yang menargetkan infrastruktur sipil jelas melanggar prinsip proporsionalitas yang diatur dalam Konvensi Jenewa IV, yang mengatur perlindungan terhadap sipil dalam konflik bersenjata. Serangan tersebut berpotensi meningkatkan risiko terjadinya kejahatan perang oleh pihak Rusia. Sementara itu, Ukraina juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar wilayah sipil tidak digunakan sebagai tempat pertahanan militer, karena hal tersebut dapat berpotensi membahayakan warga sipil dan menyebabkan pelanggaran hukum humaniter. Investigasi yang dilakukan oleh International Criminal Court (ICC) menunjukkan adanya bukti-bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, meskipun pelanggaran yang dilakukan oleh Rusia jauh lebih besar, termasuk deportasi paksa dan serangan terhadap fasilitas medis. Dalam kesimpulannya, Letnan Kolonel Purnawirawan Daniel Davis menyatakan bahwa konflik ini telah menjadi kebuntuan militer bagi Ukraina, namun menyerah dalam kondisi saat ini akan memiliki dampak serius terhadap kedaulatan Ukraina serta integritas hukum internasional. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan konflik ini, beberapa rekomendasi muncul, antara lain melakukan negosiasi yang menjunjung tinggi kedaulatan Ukraina, meningkatkan bantuan militer yang lebih canggih dan tepat waktu untuk menanggapi keunggulan strategis Rusia, serta memperkuat tekanan diplomatik dan sanksi internasional terhadap Rusia untuk memaksa penghentian agresi. Pendekatan tersebut diharapkan dapat membantu Ukraina bertahan dan mempertahankan integritas teritorialnya sambil membuka ruang untuk penyelesaian diplomatik yang adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H