Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Turki: Netral di Mata Dunia, Namun Mencurigakan di Mata Aliansi

26 November 2024   20:34 Diperbarui: 26 November 2024   20:37 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Netralitas Turki dalam hukum internasional berpijak pada prinsip netralitas sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag V tahun 1907, yang menetapkan hak dan kewajiban negara netral selama konflik bersenjata. Sebagai contoh, Pasal 7 menyatakan bahwa “A neutral power is not bound to prevent the export or transport, on behalf of one or other of the belligerents, of arms, munitions, or, in general, of anything which could be of use to an army or a fleet.” Kendati demikian, praktik Turki, seperti ekspor drone dan senjata ringan ke Ukraina, menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana netralitas tersebut benar-benar diterapkan. Dalam aspek lain, permasalahan terkait ekspor barang dual-use juga menjadi sorotan. Barang-barang semacam ini, yang berpotensi dimanfaatkan untuk keperluan militer, diawasi ketat oleh regulasi Uni Eropa melalui Council Regulation (EU) 2021/821 dan oleh Amerika Serikat melalui Arms Export Control Act (AECA). 

Meskipun Turki dilaporkan telah membatasi ekspor barang dual-use ke Rusia, tuduhan terhadap beberapa perusahaan lokal menunjukkan kemungkinan pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut. Di sisi geopolitik, pengajuan Turki sebagai anggota penuh BRICS menimbulkan diskusi tentang implikasi hukum dan politik, terutama terkait dengan potensi konflik kepentingan antara komitmen Turki sebagai anggota NATO dan aspirasinya untuk bergabung dengan kelompok yang sering dianggap sebagai tandingan Barat. Meski tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang keanggotaan ganda, langkah ini berisiko memicu ketegangan yang dapat berdampak pada dinamika aliansi multilateral.

Relasi ekonomi antara Turki dan Rusia memiliki dimensi yang signifikan, khususnya dalam perdagangan dan energi. Sebagai importir utama minyak mentah Rusia, Turki menggantungkan sebagian besar kebutuhan energinya pada hubungan bilateral ini, sementara Rusia memegang posisi sebagai salah satu mitra impor terbesar Turki. Hubungan ini, dalam kerangka hukum perdagangan internasional, didasarkan pada aturan yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), meskipun sanksi yang diberlakukan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia menciptakan hambatan tambahan. Lebih lanjut, dimensi energi dalam kemitraan ini dipengaruhi oleh Energy Charter Treaty yang mendorong kerja sama internasional dalam eksplorasi energi, meski latar belakang geopolitik kedua negara sering diwarnai ketegangan. Namun, tantangan hukum juga muncul dari tindakan sanksi yang dikenakan terhadap sekitar 20 perusahaan Turki oleh Amerika Serikat, dengan tuduhan bahwa mereka telah menyediakan teknologi yang mendukung industri pertahanan Rusia. Langkah ini menimbulkan persoalan serius dalam konteks International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang menjadi dasar sanksi AS, serta mekanisme sanksi internasional lainnya yang bertujuan membatasi dukungan terhadap sektor militer Rusia.

Sebagai anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO), Turki terikat oleh prinsip solidaritas aliansi yang diatur dalam Pasal 5 NATO, yang menggarisbawahi kewajiban kolektif untuk mempertahankan setiap anggota yang diserang. Namun, posisi Turki yang netral dalam beberapa isu strategis, termasuk kedekatannya dengan Rusia, memunculkan kekhawatiran tentang potensi pengikisan prinsip solidaritas ini. Sementara itu, dukungan Turki terhadap Ukraina melalui ekspor drone dan senjata justru menciptakan paradoks, karena di saat yang sama negara ini berupaya menjadi mediator dalam konflik tersebut. Sikap ambivalen ini dapat berdampak negatif terhadap tingkat kepercayaan dalam NATO. Di sisi lain, aplikasi Turki untuk bergabung dengan BRICS menunjukkan ambisi negara ini untuk memperluas pengaruh global, sekaligus menegaskan pendekatan kebijakan luar negeri yang semakin independen. Upaya ini merefleksikan keinginan Turki untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam keamanan dan stabilitas regional, meskipun berpotensi menimbulkan ketegangan dengan komitmennya terhadap NATO.

Drone buatan Turki, seperti Bayraktar TB2, telah memainkan peran penting dalam konflik Ukraina, menunjukkan kemajuan signifikan dalam teknologi pertahanan negara tersebut. Meskipun demikian, penggunaan drone tersebut untuk menyerang warga sipil Rusia dapat berpotensi melanggar hukum humaniter internasional, tergantung pada bukti yang ada. Di sisi lain, barang dual-use seperti semikonduktor dan sensor, yang memiliki potensi untuk digunakan baik dalam aplikasi sipil maupun militer, memiliki dampak strategis yang besar terhadap keamanan global. Dalam hal ini, Turki harus memastikan adanya transparansi yang cukup dalam ekspor barang-barang tersebut agar tidak terlibat dalam pelanggaran terhadap hukum internasional, yang dapat memperburuk situasi geopolitik dan menciptakan risiko bagi stabilitas global.

Hubungan yang terjalin antara Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, mencerminkan pendekatan pragmatis kedua negara dalam menghadapi tantangan dari Barat. Keduanya memanfaatkan kerjasama ekonomi untuk memperkuat posisi masing-masing dalam sistem dunia yang semakin multipolar. Namun, sikap netral yang diambil oleh Turki dapat menimbulkan risiko polarisasi dalam aliansi NATO dan berdampak pada stabilitas kawasan, di samping memperumit upaya komunitas internasional dalam menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Ketegangan yang muncul antara netralitas Turki, integritas aliansi NATO, dan kepentingan nasional negara tersebut menciptakan tantangan signifikan dari perspektif hukum internasional. Untuk mengatasi dilema ini, Turki harus mengambil langkah-langkah strategis, seperti meningkatkan transparansi perdagangan internasional untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan ekspor, memperkuat komitmen terhadap NATO dengan menjaga posisi sebagai mediator yang tidak merugikan aliansi, serta menavigasi hubungan dengan Rusia dan BRICS dengan hati-hati untuk menghindari konflik kepentingan. Dengan langkah-langkah ini, Turki diharapkan dapat mempertahankan perannya sebagai aktor penting dalam geopolitik global, sembari menjaga kredibilitasnya di panggung internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun