China telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kekuatan maritimnya, dengan fokus pada pengembangan kapal induk bertenaga nuklir sebagai simbol ambisi global dan kemampuan teknologi tinggi. Inovasi ini, meski masih berada di bawah dominasi Amerika Serikat yang mengoperasikan 11 kapal induk nuklir canggih, memberikan China kemampuan untuk memperpanjang operasi jarak jauh tanpa ketergantungan pada bahan bakar konvensional.Â
Hal ini penting bagi proyeksi kekuatan geopolitik, terutama di wilayah sengketa seperti Laut China Selatan dan Indo-Pasifik. Sementara kapal induk terbaru China, Fujian, telah mengadopsi sistem peluncuran elektromagnetik modern, namun masih menggunakan tenaga konvensional, menunjukkan adanya kesenjangan teknologi dibandingkan AS.Â
Secara strategis dan hukum, pengembangan kapal ini berdampak pada stabilitas internasional, memengaruhi hubungan diplomatik, dan menunjukkan klaim serius China sebagai kekuatan global. Analisis ini mengkaji dimensi strategis, hukum, dan teknologi yang terlibat dalam upaya tersebut, mengungkap implikasi mendalam yang melampaui sekadar inovasi militer.
China telah menunjukkan kemajuan bertahap dalam teknologi kapal induk, dimulai dengan Liaoning (2012), yang diadaptasi dari kapal bekas Ukraina, diikuti oleh Shandong, hasil produksi dalam negeri dengan desain serupa. Pada 2022, Fujian diperkenalkan sebagai inovasi signifikan yang mengadopsi sistem peluncuran elektromagnetik (EMALS), mendekati standar teknologi kapal induk Amerika Serikat.Â
Lebih jauh, laporan dari Middlebury Institute of International Studies mengindikasikan bahwa China tengah mengembangkan prototipe reaktor nuklir di Sichuan, memunculkan spekulasi bahwa kapal induk keempat mereka akan berbasis tenaga nuklir, meskipun belum ada konfirmasi resmi.Â
Jika realisasi ini tercapai, China akan menjadi salah satu dari sedikit negara---bersama Amerika Serikat dan Prancis---yang mampu mengoperasikan kapal induk nuklir. Hal ini akan memberikan keunggulan strategis yang signifikan, memungkinkan China untuk menantang dominasi maritim AS, khususnya di wilayah Indo-Pasifik.
Dalam perspektif hukum internasional, pengembangan kapal induk bertenaga nuklir oleh China menimbulkan berbagai tantangan. Berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty atau NPT), teknologi nuklir untuk tujuan damai diperbolehkan asalkan digunakan secara transparan dan tidak dimanfaatkan untuk senjata.Â
Penggunaan reaktor nuklir pada kapal perang dianggap sah selama tidak terkait dengan penyebaran bahan nuklir untuk senjata. Selain itu, Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), terutama Pasal 87 dan Pasal 90, menjamin kebebasan navigasi di laut internasional.Â
Namun, kehadiran kapal induk nuklir di kawasan sengketa seperti Laut China Selatan berpotensi meningkatkan ketegangan dan memicu konflik baru. Langkah ini juga dapat memperkuat klaim teritorial China yang kontroversial di kawasan tersebut, yang bertentangan dengan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional 2016 yang menguntungkan Filipina.
China mungkin memiliki jumlah kapal perang yang lebih banyak dibandingkan Amerika Serikat (234 kapal China berbanding 219 kapal AS), tetapi dominasi strategis tetap berada di tangan AS berkat keunggulan kapal induk nuklir yang mampu beroperasi secara global dengan efisiensi tinggi. Selain itu, AS jauh unggul dalam jumlah kapal selam nuklir, dengan 66 unit dibandingkan hanya 12 milik China.Â
Untuk mempertahankan posisi tersebut, AS diperkirakan akan mempercepat modernisasi armadanya melalui pengadopsian teknologi canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan sistem senjata generasi baru, guna memastikan keberlanjutan dominasi teknologi dan militer di masa depan.
Pengembangan kapal induk nuklir oleh China menghadapi tantangan besar, terutama dalam menciptakan reaktor nuklir yang aman, stabil, dan efisien secara operasional. Di tingkat internasional, langkah ini diawasi ketat oleh negara-negara tetangga seperti Jepang, Korea Selatan, dan India, yang mungkin merespons dengan meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Dalam konteks geopolitik, upaya ini berpotensi memicu perlombaan senjata maritim di kawasan Asia.Â
Meskipun teknologi China belum menyamai keunggulan Amerika Serikat, keberhasilan pengembangan ini dapat memperkuat pengaruh China di Indo-Pasifik.
 Secara hukum internasional, pengembangan tersebut dianggap sah asalkan penggunaannya mematuhi prinsip-prinsip perdamaian dan kebebasan navigasi. Namun, langkah ini menambah kompleksitas dinamika keamanan global, menuntut kerja sama internasional untuk mencegah eskalasi konflik maritim di masa depan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H