Proyek KF-21 Boramae, sebagai hasil kolaborasi strategis antara Korea Selatan dan Indonesia, bertujuan mengembangkan jet tempur generasi 4.5 melalui pembagian tanggung jawab pendanaan, transfer teknologi, serta pemanfaatan lisensi produksi. Sejak disepakati pada Desember 2015, proyek bernilai sekitar 8,8 triliun won ini menetapkan bahwa Indonesia menyumbang 20% dari total anggaran atau sekitar 1,6 triliun won dengan harapan memperoleh hak transfer teknologi dan produksi untuk jet tempur tersebut. Namun, sejak tahun 2023, kontribusi pendanaan Indonesia mengalami penurunan signifikan hingga 600 miliar won akibat kendala ekonomi dan keterlambatan pembayaran, yang mendorong kekhawatiran atas keterlibatan berkelanjutan Indonesia. Hal ini menyebabkan Defense Acquisition Program Administration (DAPA) Korea Selatan melakukan penyesuaian pada Mei 2023, untuk mengakomodasi pembagian kontribusi dan cakupan transfer teknologi yang lebih sesuai dengan kemampuan Indonesia. Analisis ini mengupas proyek KF-21 dari sudut teknis, geopolitik, dan aspek hukum, dengan fokus pada isu terkait komitmen kontrak, implementasi transfer teknologi, serta dampak strategisnya terhadap pengembangan industri pertahanan kedua negara.
Transfer teknologi menjadi aspek vital dalam keterlibatan Indonesia pada proyek ini, di mana alih pengetahuan tersebut diharapkan dapat memperkuat kapasitas industri pertahanan nasional, khususnya dalam memproduksi alat utama sistem senjata (alutsista) secara mandiri. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, Indonesia memiliki kepentingan dalam penguatan kemampuan produksi dalam negeri, yang mencakup perusahaan seperti PT Dirgantara Indonesia (DI). Namun, berkurangnya kontribusi Indonesia berdampak pada pengurangan cakupan transfer teknologi yang diterima, sehingga target untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi luar negeri menjadi lebih sulit tercapai dan menimbulkan dilema bagi kedaulatan teknologi pertahanan serta ketahanan nasional. Selain itu, pada Februari 2024, insiden dugaan kebocoran data oleh insinyur Indonesia terkait proyek KF-21 memicu keprihatinan publik dan kritik dari pejabat Korea Selatan, yang mempertanyakan keamanan kolaborasi industri pertahanan ini. Jika terbukti melanggar perjanjian kerahasiaan (NDA), insiden ini dapat berdampak serius pada kepercayaan antarnegara serta pelanggaran Pasal 112 KUHP terkait perlindungan informasi strategis, yang sekaligus dapat berisiko melanggar ketentuan Treaty of Amity and Cooperation antara ASEAN dan Korea Selatan serta menimbulkan ketidakpastian pada kelanjutan transfer teknologi di masa depan.
Sebagai satu-satunya negara non-Korea yang berpartisipasi dalam proyek ini, Indonesia memiliki posisi strategis di Asia Tenggara yang memperkuat perannya sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan. Kehadiran jet tempur KF-21 diharapkan akan meningkatkan daya saing Indonesia dalam merespons dinamika keamanan di Pasifik, terutama di tengah peningkatan aktivitas militer oleh Tiongkok. Dari perspektif Korea Selatan, Indonesia bukan hanya mitra strategis tetapi juga pasar potensial bagi ekspor alutsista lainnya, seperti T-50, yang menempatkan proyek KF-21 sebagai instrumen penting bagi kedua negara dalam mengelola pengaruh mereka di kawasan. Selain itu, proyek ini memberikan leverage strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya dalam arena geopolitik regional. Namun, tantangan besar muncul bagi kebijakan luar negeri Indonesia terkait kelanjutan proyek ini, sebab pengurangan kontribusi dapat melemahkan kepercayaan investor terhadap komitmen jangka panjang Indonesia pada proyek pertahanan multilateral, berpotensi mereduksi peran strategis yang dimilikinya.
Pengurangan kontribusi Indonesia dan cakupan alih teknologi dalam proyek ini menuntut evaluasi strategis untuk menilai sejauh mana kolaborasi ini mendukung kemandirian industri pertahanan sesuai amanat UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Apabila partisipasi Indonesia terus terbatas, diperlukan peninjauan ulang dari sudut keberlanjutan dan kebutuhan akan pengembangan teknologi strategis domestik. Dalam ranah hukum internasional, kolaborasi ini berlandaskan ketentuan kontrak yang mengatur hak dan kewajiban kedua negara, sehingga setiap penyesuaian kontribusi dan tanggung jawab transfer teknologi perlu dituangkan dalam amandemen perjanjian untuk menjaga validitas hukum kerja sama serta mencegah sengketa yang dapat memengaruhi hubungan bilateral. Proyek KF-21 Boramae merefleksikan kompleksitas kerja sama internasional dalam sektor pertahanan, di mana meskipun kontribusi Indonesia berkurang, proyek ini tetap penting bagi Korea Selatan untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Udaranya. Bagi Indonesia, keterlibatan ini merupakan peluang untuk mengembangkan industri pertahanan, meskipun dalam ruang lingkup terbatas. Optimalisasi kolaborasi ini membutuhkan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan kontribusi Indonesia seimbang dengan manfaat alih teknologi yang diterima serta dampaknya bagi kepentingan nasional. Dalam konteks hukum dan perjanjian bilateral, menjaga kepercayaan dan integritas kerja sama sangat penting guna mencegah ketegangan dan memastikan hubungan yang saling menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H