Keikutsertaan Indonesia sebagai mitra strategis dalam BRICS menghadirkan peluang besar dari sisi strategis dan ekonomi, yang memperkuat posisi Indonesia di panggung geopolitik dunia sekaligus mendukung beragam kepentingan nasional di bidang perdagangan dan energi. Sebagai kelompok ekonomi yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, BRICS semakin memperluas pengaruhnya sebagai alternatif aliansi internasional bagi negara berkembang di tengah ketimpangan dalam sistem perdagangan global yang masih dikuasai oleh negara-negara Barat. Kajian ini akan meneliti aspek hukum, ekonomi, dan kebijakan luar negeri yang mendasari keterlibatan Indonesia dalam BRICS secara mendalam.
Sebagai mitra strategis dalam BRICS, Indonesia memperoleh peluang penting untuk memperluas kerja sama dalam sektor perdagangan dan energi. Kedudukan ini membuka akses pada minyak mentah dari Rusia dengan potensi harga yang lebih rendah, yang sangat mendukung ekonomi nasional mengingat besarnya anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Melalui kerangka kerja sama ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk menekan biaya impor energi yang seringkali terkena pembatasan dari negara Barat yang menerapkan sanksi terhadap Rusia terkait konflik Ukraina. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa sumber daya alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan akses energi murah dari BRICS sebagai upaya yang relevan untuk mencapai kedaulatan energi.
Sebagai bagian dari BRICS, Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sistem transaksi antarnegara yang tidak bergantung pada SWIFT, jaringan transfer berbasis Barat, dengan menggantinya melalui mekanisme SWAP yang lebih inklusif untuk negara berkembang. Pengurangan ketergantungan ini membantu Indonesia mengurangi risiko keuangan akibat tekanan ekonomi yang muncul dari perubahan kebijakan moneter dan sanksi dari negara-negara Barat. Upaya ini selaras dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa perekonomian nasional harus dikelola berdasarkan prinsip kedaulatan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Melalui sistem SWAP, stabilitas dalam transaksi internasional dapat lebih merata.
Partisipasi Indonesia sebagai mitra dalam BRICS merupakan perwujudan dari kebijakan luar negeri bebas aktif yang diterapkan Indonesia. Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa langkah ini menunjukkan penerapan nyata dari prinsip bebas aktif, memungkinkan Indonesia berkolaborasi dalam aliansi strategis tanpa terikat eksklusif pada blok manapun. Keanggotaan ini memberi Indonesia peluang untuk memperluas akses ke pasar baru dan memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara BRICS, terutama di antara negara-negara berkembang. Langkah ini mendukung upaya Indonesia untuk meningkatkan kemandirian ekonomi serta diversifikasi mitra dagang demi mengurangi ketergantungan pada pasar negara-negara Barat. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang mengamanatkan agar kebijakan luar negeri Indonesia mengutamakan kepentingan nasional sembari tetap menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak.
Sebagai anggota BRICS, Indonesia memainkan peran penting dalam mewakili negara-negara Global South, yang sering kali kurang terakomodasi di forum internasional seperti G77 di PBB. Peran ini memberi peluang bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan negara berkembang di kancah internasional, termasuk memperbaiki ketidakadilan yang ada dalam skema perdagangan WTO. Dengan keterlibatannya dalam BRICS, Indonesia diharapkan dapat memperkuat solidaritas selatan, membuka akses yang lebih setara ke pasar negara maju. Hal ini selaras dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, yang mengamanatkan pemerintah untuk menjaga hubungan internasional yang menguntungkan serta mewujudkan keadilan dalam hubungan antarbangsa.
Di balik keuntungan potensial, keanggotaan Indonesia sebagai mitra BRICS dapat menimbulkan tantangan, khususnya dalam persepsi negara-negara Barat yang memberlakukan embargo terhadap Rusia akibat konflik di Ukraina. Menurut Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, keterlibatan ini dapat memicu pandangan negatif dari pihak Barat yang berpotensi mempengaruhi proses diplomatik Indonesia dalam mengejar keanggotaan di OECD. Hal ini menimbulkan dilema dalam kebijakan luar negeri, yaitu mempertahankan kemandirian politik luar negeri tanpa merusak hubungan dengan negara-negara Barat.
Sebagai bagian dari BRICS, Indonesia memanfaatkan forum ini untuk mendukung hak-hak negara berkembang dan mengupayakan perdamaian internasional, terutama di wilayah konflik seperti Palestina dan Lebanon. Dalam pertemuan KTT BRICS, Indonesia menekankan pentingnya menghormati hukum internasional dan mengadvokasi solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel. Sikap ini selaras dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan hak atas perlindungan hak asasi manusia bagi setiap individu. Memperhitungkan aspek hukum dan geopolitik ini, keterlibatan Indonesia sebagai mitra BRICS dapat menghadirkan keuntungan ekonomi nyata, memperkuat posisinya di panggung dunia, dan mendukung prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H