Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mampukah Indonesia Menutup Selat Malaka dan Mengguncang Ekonomi Dunia?

19 Oktober 2024   16:19 Diperbarui: 19 Oktober 2024   16:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penutupan Selat Malaka oleh Indonesia atau negara lain akan berdampak sangat serius dari perspektif hukum internasional, ekonomi global, dan geopolitik. Selat Malaka adalah salah satu jalur maritim tersibuk di dunia dan bagian penting dari sea lines of communication (SLOC) yang mendukung stabilitas ekonomi global. Dalam hukum internasional, jalur ini diatur oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), yang menetapkan hak dan kewajiban negara pantai serta kebebasan pelayaran di selat-selat internasional.

Menurut UNCLOS, khususnya Pasal 38, Selat Malaka dikategorikan sebagai jalur pelayaran internasional, yang menjamin hak transit bagi semua kapal dan pesawat tanpa hambatan yang tidak diperlukan. Pasal ini juga menyatakan bahwa hak transit tidak dapat dibatasi kecuali untuk alasan keamanan yang diakui hukum internasional, seperti perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Indonesia, sebagai salah satu negara pantai yang mengelola Selat Malaka bersama Malaysia dan Singapura, wajib menjamin transit bebas hambatan kecuali ada alasan sah sesuai hukum internasional. Penutupan sepihak Selat Malaka akan melanggar ketentuan UNCLOS dan dapat memicu respons keras dari komunitas internasional, termasuk sanksi ekonomi atau intervensi militer dari negara-negara yang bergantung pada selat tersebut, seperti China, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa.

Penutupan Selat Malaka oleh Indonesia akan berdampak besar pada China, karena sekitar 80% impor minyak mentah China melewati selat ini, memenuhi lebih dari 60% kebutuhan energinya. Penutupan ini akan memaksa kapal tanker mencari rute alternatif melalui Selat Lombok atau Selat Sunda, meningkatkan biaya transportasi dan memperpanjang waktu perjalanan. Hal ini bisa menyebabkan krisis energi di China, menghambat industrinya, dan mengganggu ekonomi domestiknya. Secara global, penutupan ini akan menyebabkan lonjakan harga minyak dan gas alam, mempengaruhi rantai pasokan global, dan menyebabkan inflasi, kelangkaan komoditas, serta potensi resesi di banyak negara. Selain itu, penutupan Selat Malaka bisa memicu ketegangan geopolitik antara China dan negara besar lainnya, termasuk Amerika Serikat. Kontrol atas Selat Malaka memiliki arti strategis besar, seperti dijelaskan dalam konsep "Malacca Dilemma" oleh Presiden Hu Jintao pada tahun 2003, mencerminkan kekhawatiran China bahwa negara lain bisa menggunakan selat ini sebagai alat tekanan terhadap kepentingan energinya. Blokade terhadap Selat Malaka bisa memicu eskalasi konflik, bahkan perang regional atau global.

Penutupan sepihak Selat Malaka oleh Indonesia dapat memicu intervensi militer dari negara-negara besar yang bergantung pada jalur perdagangan ini. Angkatan Laut Amerika Serikat, misalnya, memiliki strategi proyeksi kekuatan yang menekankan kebebasan navigasi di jalur-jalur strategis seperti Selat Malaka. Dalam situasi ekstrem, intervensi militer multinasional di bawah NATO atau koalisi negara-negara yang terkena dampaknya mungkin terjadi untuk membuka kembali jalur tersebut. Dari sudut pandang diplomatik, negara-negara yang bergantung pada Selat Malaka kemungkinan besar akan mencari jalur diplomasi keras melalui Dewan Keamanan PBB atau forum internasional lainnya. Sebagai anggota PBB, Indonesia terikat pada komitmen internasional yang mengatur kebebasan pelayaran di selat-selat internasional, dan tindakan sepihak untuk menutup selat tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap piagam PBB dan hukum laut internasional.

Penutupan sepihak Selat Malaka oleh Indonesia dapat mengakibatkan risiko sanksi ekonomi internasional. Negara-negara terdampak mungkin akan merespons dengan langkah-langkah retaliasi ekonomi seperti embargo, pembatasan akses ke pasar global, atau pembekuan aset di luar negeri. Ini akan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia yang semakin bergantung pada perdagangan internasional. Selain itu, kepercayaan investor terhadap stabilitas politik dan ekonomi Indonesia akan terganggu, yang dapat menyebabkan arus keluar modal dan depresiasi mata uang.

Tidak, Indonesia tidak mungkin menutup Selat Malaka secara sepihak tanpa menghadapi konsekuensi hukum internasional, ekonomi, dan geopolitik yang serius. Langkah seperti itu akan melanggar UNCLOS, memicu ketegangan internasional, dan mungkin mengundang intervensi militer dari negara-negara besar. Namun, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan jalur maritim ini melalui kerja sama multilateral dengan negara-negara di kawasan dan dunia. Solusi yang lebih diplomatis dan ekonomis adalah memanfaatkan posisi strategis Selat Malaka sebagai jalur transit dengan memberlakukan tarif atau pajak yang adil terhadap kapal-kapal yang melewati wilayah Indonesia, sesuai dengan aturan hukum internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun