Dassault Aviation saat ini tengah mengembangkan sebuah kendaraan udara tempur nirawak (UCAV) yang dirancang untuk berfungsi sebagai "loyal wingman" bagi jet tempur Dassault Rafale F5 generasi 4.5. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap tuntutan operasional yang semakin meningkat dan ancaman yang dihadapi di medan perang modern, yang kini lebih mengutamakan teknologi stealth, otonomi, serta kolaborasi antara pesawat berawak dan nirawak. Dari perspektif hukum, pengembangan UCAV ini sejalan dengan kebijakan pertahanan Eropa dan Prancis, yang diatur oleh berbagai instrumen hukum, termasuk peraturan internasional terkait penggunaan drone bersenjata dan kontrol terhadap senjata otonom.
Pengembangan Unmanned Combat Aerial Vehicles (UCAVs) harus dipertimbangkan melalui lensa aspek hukum internasional. Kerangka hukum yang relevan mencakup Konvensi Jenewa, terutama Protokol Tambahan I tahun 1977, yang melarang penggunaan senjata, proyektil, bahan, dan metode peperangan yang menyebabkan penderitaan berlebihan atau kerusakan yang tidak perlu (Pasal 35). Selain itu, aplikasi teknologi otonom dalam UCAV wajib patuhi Pasal 36, yaitu melakukan evaluasi legal atas senjata baru untuk memastikan kesesuaian dengan hukum kemanusiaan internasional. Implementasi "human-in-the-loop" dalam UCAV Dassault menunjukkan bahwa keputusan untuk menggunakan kekuatan mematikan masih berada di bawah kendali manusia, sehingga menghilangkan kekhawatiran terkait sistem senjata otonom yang sepenuhnya dilarang oleh berbagai gerakan internasional. Kontrol manusia ini sesuai dengan prinsip distinction dan proportionality dalam hukum humaniter, yang menuntut adanya pembedaan jelas antara kombatan dan non-kombatan serta penggunaan kekuatan yang proporsional terhadap tujuan militer yang sah.
Pengembangan Unmanned Combat Aerial Vehicles (UCAV) yang kompatibel dengan Rafale F5 melibatkan integrasi teknologi rahasia untuk menghindarkan deteksi radar lawan. Desain UCAV ini ditujukan agar bisa beroperasi dengan autonomi maksimal tapi tetap dikontrol oleh pilot Rafale dari cockpit, suatu strategi yang dikenal sebagai "wingman setia". Hal ini memungkinkan Rafale untuk menggunakan drone sebagai dukungan tambahan dalam pertempuran udara, di mana UCAV akan membuka jalur atau menyerang target musuh lebih dahulu, mengurangi risiko bagi pilot dan pesawat tempur utama.
Teknologi ini didapatkan dari adaptasi proyek demonstrator UCAV rahasia Eropa, nEUROn, yang merupakan hasil kerjasama multinasional antara enam negara Eropa dibawah koordinasi Dassault Aviation sejak tahun 2003. Integrasi antara Rafale F5 dengan nEUROn, yang dilengkapi radar generasi baru, memperkuat kemampuan kolaboratif pesawat-pesawat ini dalam misi-misi udara, termasuk misi yang melibatkan penetrasi wilayah udara dengan ancaman tinggi.
Dalam konteks geopolitik, pengembangan UCAV Dassault dan Rafale F5 merupakan tanggapan penting bagi Eropa untuk mempertahankan kemampuan tempur independen. Eropa, termasuk Prancis, menghadapi tantangan geopolitik yang kompleks, seperti meningkatnya ketegangan di kawasan Eropa Timur dan percepatan militer Rusia dan Tiongkok. Mengembangkan teknologi pertahanan mandiri, seperti UCAV, memungkinkan Eropa mengurangi ketergantungan pada aliansi seperti NATO dan meningkatkan daya saing industri pertahanan Eropa di pasar global.
Prancis, melalui program Rafale dan UCAV, menunjukkan dedikasinya untuk memperkuat kapasitas militernya secara berkelanjutan. Langkah ini sejalan dengan Strategi Pertahanan Nasional Prancis yang mendukung pengembangan teknologi tempur berkelanjutan untuk menghadapi ancaman asimetris dan konflik masa depan. Program ini juga mencerminkan Pasal 51 Piagam PBB, yang mengakui hak setiap negara untuk mempertahankan diri dalam menghadapi ancaman nyata atau potensial. Dengan demikian, Prancis berkomitmen kuat dalam memastikan keberlangsungan dan kekuatan pertahanan nasionalnya.
Rafale F5 yang dilengkapi dengan UCAV akan memberikan keuntungan strategis bagi Prancis dalam menghadapi medan tempur yang semakin kompleks. Penggunaan drone tempur sebagai "loyal wingman" memungkinkan penyesuaian taktik militer yang lebih fleksibel dan efisien, serta mengurangi risiko bagi personel tempur. Kombinasi teknologi rahasia dan kecerdasan buatan akan membuka peluang baru dalam operasi militer Eropa dan mungkin mempengaruhi strategi militer di kawasan lain.
Di masa depan, potensi penerapan teknologi serupa juga patut dipertimbangkan dalam konteks Tentara Udara Republik Indonesia (TNI AU), baik melalui pembelian maupun transfer teknologi dari negara lain. Namun, hal ini haruslah sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, terutama terkait dengan peningkatan kapasitas lokal melalui pengembangan industri pertahanan nasional dan kerjasama strategis. Dengan cara ini, TNI AU dapat meningkatkan kemampuan pertahanannya secara efektif dan mandiri.