Penemuan fosil Archaeopteryx pada tahun 1861 menandai tonggak penting dalam bidang paleontologi. Fosil ini menunjukkan kombinasi unik dari ciri-ciri dinosaurus dan burung modern, yang mendukung teori evolusi Charles Darwin yang dipublikasikan pada tahun 1859. Hidup sekitar 150 juta tahun yang lalu di akhir periode Jurassic di Bavaria, Jerman, Archaeopteryx selama bertahun-tahun dianggap sebagai burung pertama di dunia. Fosil ini memberikan bukti bagaimana burung mungkin berevolusi langsung dari dinosaurus.
Archaeopteryx memperlihatkan kombinasi unik antara dinosaurus dan burung. Dengan gigi tajam, ekor panjang yang sepenuhnya berosifikasi, tulang dada datar, dan cakar di sayapnya, ia memiliki banyak kesamaan dengan dinosaurus. Namun, burung purba ini juga memiliki bulu, sayap yang aerodinamis, dan struktur tulang yang mirip dengan burung modern. Meskipun sayapnya masih memiliki cakar, fitur-fitur ini menunjukkan bahwa Archaeopteryx kemungkinan besar mampu terbang, meskipun belum diketahui apakah ia mengepakkan sayap atau hanya meluncur.
Penemuan fosil-fosil yang lebih tua dengan karakteristik mirip burung, seperti Xiaotingia zhengi yang ditemukan di Tiongkok pada tahun 2011 dan hidup sekitar 5 juta tahun sebelum Archaeopteryx, telah menimbulkan keraguan terhadap status Archaeopteryx sebagai burung pertama. Selain itu, fosil Aurornis yang diperkirakan hidup 10 juta tahun sebelum Archaeopteryx, semakin memperumit penentuan garis antara burung dan dinosaurus berbulu.
Meskipun penemuan-penemuan baru memberikan wawasan baru dalam studi evolusi burung, fosil Archaeopteryx tetap menjadi bukti penting yang mendukung teori evolusi burung dari dinosaurus, khususnya dari kelompok theropoda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H