Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mengimbangi Aliansi TNI: Lebih Menguntungkan dengan Amerika atau China?

14 September 2024   09:00 Diperbarui: 24 September 2024   08:20 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara strategis, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mungkin lebih diuntungkan dengan aliansi militer bersama Amerika Serikat dibandingkan dengan China, terutama dari segi kepentingan jangka panjang, kompatibilitas teknologi, dan keseimbangan geopolitik. Namun, keputusan ini tidaklah sederhana dan harus disesuaikan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas dan aktif. Prinsip ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang menyatakan bahwa politik luar negeri Indonesia bertujuan untuk kepentingan nasional serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dari perspektif hukum, aliansi formal dengan salah satu blok besar dunia dapat merusak prinsip bebas aktif jika tidak diatur dengan hati-hati. Indonesia, dalam kerangka bebas aktif, tidak diharuskan terikat secara eksklusif dengan satu kekuatan besar. Selain itu, Pasal 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa pertahanan negara bersifat semesta, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional. Ini berarti strategi pertahanan harus memprioritaskan otonomi dalam perencanaan militer. Meskipun ada keuntungan dari kemitraan strategis, kebijakan non-blok tetap menjadi panduan utama dalam pertahanan nasional.

Secara empiris, aliansi militer dengan Amerika Serikat menawarkan berbagai keuntungan signifikan bagi Indonesia. Amerika Serikat dikenal sebagai penyedia teknologi militer canggih, termasuk sistem persenjataan standar NATO seperti jet tempur F-16 dan F-35, serta sistem pertahanan udara modern. Teknologi ini tidak hanya unggul dalam kemampuan tempur, tetapi juga lebih kompatibel dengan doktrin militer TNI yang didasarkan pada pelatihan dan standar internasional.

Sejak berakhirnya embargo militer pada awal 2000-an, hubungan pertahanan antara Indonesia dan Amerika Serikat telah berkembang melalui latihan gabungan seperti Garuda Shield dan akses ke program pelatihan militer yang lebih maju. Latihan-latihan ini terbukti meningkatkan interoperabilitas TNI dalam operasi internasional, yang penting untuk menjaga relevansi militer di tingkat global.

Kemitraan ini juga memungkinkan Indonesia mengakses program Foreign Military Financing (FMF) dan International Military Education and Training (IMET), yang mendukung pengembangan kapasitas TNI. Dari perspektif hukum dan kebijakan pertahanan, peningkatan interoperabilitas melalui latihan dan bantuan teknologi dari Amerika Serikat sejalan dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menyatakan bahwa TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Aliansi militer dengan China membawa risiko yang signifikan. Meskipun China menawarkan kerja sama militer, termasuk transfer teknologi dan pengadaan alutsista seperti J-10 dan kapal selam, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah ketidakpastian kompatibilitas teknologi militer China dengan TNI, yang sebagian besar asetnya berasal dari Barat atau Rusia. Selain itu, ketegangan geopolitik di Laut China Selatan (LCS), di mana China secara asertif mengklaim wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Kepulauan Natuna, menimbulkan tantangan tersendiri bagi Indonesia.

Indonesia secara konsisten menegaskan sikap netralitasnya di LCS, sebagaimana diatur dalam kebijakan luar negeri bebas aktif, serta mempertahankan klaim atas ZEE berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Bersekutu dengan China dalam aliansi militer dapat meningkatkan risiko konfrontasi dengan negara-negara tetangga ASEAN, yang juga menolak klaim sepihak China di LCS. Dari perspektif hukum, Pasal 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa kebijakan pertahanan bertujuan melindungi kepentingan nasional, dan aliansi dengan negara yang memiliki klaim teritorial yang bertentangan dengan Indonesia dapat merusak stabilitas regional serta integritas teritorial Indonesia.

Sebagai negara yang menganut kebijakan luar negeri bebas aktif, Indonesia harus berhati-hati terhadap dampak geopolitik dari aliansi dengan blok kekuatan tertentu. Meskipun Amerika Serikat menawarkan teknologi dan pelatihan militer yang unggul, Indonesia tidak bisa mengabaikan hubungan ekonominya dengan China, yang merupakan mitra dagang terbesar. Keputusan untuk beraliansi militer harus mempertimbangkan dampak potensial terhadap hubungan ekonomi bilateral dengan China.

Namun, dari sudut pandang geopolitik dan pertahanan, Amerika Serikat lebih relevan dalam menyediakan keamanan kolektif, terutama di kawasan Indo-Pasifik yang strategis bagi Indonesia. Komitmen Amerika Serikat terhadap stabilitas kawasan, yang tercermin dalam kerangka kerja sama keamanan seperti AUKUS dan QUAD, dapat memberikan jaminan keamanan yang lebih kuat bagi Indonesia dibandingkan dengan China, yang lebih berfokus pada ekspansi kekuatan militer di Laut China Selatan.

Secara keseluruhan, aliansi militer dengan Amerika Serikat memberikan keuntungan signifikan dalam akses teknologi, pelatihan, dan interoperabilitas global. Namun, Indonesia harus tetap menjaga prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002. Dengan mempertimbangkan kepentingan nasional, kebijakan non-blok, dan stabilitas regional, aliansi dengan Amerika Serikat tampak lebih menguntungkan secara strategis. Sementara itu, hubungan dengan China harus dijaga dengan hati-hati untuk menghindari ketegangan di Laut China Selatan dan dampak negatif pada stabilitas ASEAN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun