Mohon tunggu...
Pena Kusuma
Pena Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Mahasiswa Fakultas Hukum dengan ketertarikan mendalam dalam menganalisis dan mengembangkan pemahaman yang komprehensif terkait isu-isu militer global serta implikasinya terhadap kebijakan hukum dan keamanan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dominasi Militer China di Laut China Selatan: Modernisasi, Kontroversi Hukum, dan Implikasinya

14 September 2024   07:00 Diperbarui: 22 September 2024   16:29 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: rojoygualda.wordpress.com)

Dalam beberapa dekade terakhir, kekuatan militer China di Laut China Selatan telah mengalami perkembangan pesat, didorong oleh modernisasi besar-besaran yang mencakup pembangunan kapal-kapal canggih, pengembangan infrastruktur militer, dan penguasaan teknologi pertahanan yang kompleks. Tindakan China di kawasan ini telah menimbulkan kontroversi dalam konteks hukum internasional, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran terhadap United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dan putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016.

Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) China telah menjadi kekuatan maritim dominan di Laut China Selatan, dengan jumlah kapal dan kapabilitas teknologi yang menjadikannya salah satu angkatan laut terbesar di dunia. Kapal induk seperti Liaoning, Shandong, dan Fujian yang diharapkan beroperasi pada 2025, melambangkan proyeksi kekuatan maritim China. Selain itu, kapal perusak Type 055 dan fregat Type 054A yang dilengkapi dengan sistem persenjataan canggih, termasuk rudal anti-kapal, anti-udara, dan anti-kapal selam, meningkatkan daya tempur PLAN di kawasan tersebut. China juga mengoperasikan sekitar 60 kapal selam, termasuk kapal selam nuklir kelas Jin yang dipersenjatai dengan rudal balistik JL-2, memberikan kemampuan penangkal nuklir dari laut yang signifikan. Hal ini menimbulkan ancaman strategis di kawasan Laut China Selatan, terutama bagi negara-negara yang memiliki kepentingan di jalur maritim strategis tersebut.

China memperkuat posisinya di Laut China Selatan tidak hanya melalui kekuatan armada, tetapi juga dengan membangun pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Pulau-pulau ini dilengkapi dengan landasan udara, sistem radar canggih, pertahanan udara, dan pelabuhan untuk kapal militer, yang memperluas jangkauan operasional PLAN. Dengan infrastruktur ini, China dapat melakukan pengawasan maritim dan udara yang lebih efektif, meningkatkan kontrol atas wilayah laut yang disengketakan, dan memperkuat klaim teritorialnya, meskipun tindakan ini bertentangan dengan putusan hukum internasional.

Sistem rudal balistik anti-kapal DF-21D, yang dikenal sebagai “pembunuh kapal induk,” merupakan elemen kunci dalam strategi pertahanan China di Laut China Selatan. Rudal ini dirancang untuk menghancurkan kapal induk musuh dari jarak jauh dan merupakan bagian dari strategi Anti-Access/Area Denial (A2/AD) China. Strategi A2/AD bertujuan untuk mencegah kekuatan asing, terutama Angkatan Laut Amerika Serikat, dari beroperasi secara bebas di kawasan tersebut. Dengan kemampuan A2/AD yang efektif, China dapat menolak akses militer asing di Laut China Selatan, memperkuat posisinya dalam persaingan strategis di wilayah ini.

Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan China di Laut China Selatan sering kali dianggap melanggar UNCLOS 1982. Pasal 87(1) UNCLOS menyatakan bahwa laut lepas terbuka bagi semua negara, baik yang memiliki pantai maupun yang tidak, dengan kebebasan navigasi, terbang di atas laut lepas, serta memasang kabel dan pipa bawah laut. Namun, klaim Nine-Dash Line oleh China untuk menguasai hampir seluruh Laut China Selatan bertentangan dengan ketentuan ini.

Putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016 menegaskan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak historis di wilayah tersebut, terutama di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara seperti Filipina. Putusan ini penting untuk menolak klaim sepihak China yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara luas.

Selain itu, pembangunan pulau buatan oleh China di wilayah laut yang disengketakan dianggap sebagai bentuk militerisasi yang melanggar Pasal 56(1) UNCLOS, yang memberikan hak eksklusif kepada negara pantai untuk mengeksplorasi dan mengelola sumber daya alam dalam ZEE mereka. Namun, banyak dari wilayah ini berada dalam ZEE negara-negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam.

Dominasi militer China di Laut China Selatan (LCS) memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas regional dan kebebasan navigasi di jalur perdagangan global yang vital. LCS, sebagai salah satu jalur perdagangan maritim tersibuk di dunia, menyaksikan sekitar $3,37 triliun perdagangan global setiap tahunnya. Penguasaan atas LCS memberikan China keuntungan strategis yang besar, baik dari segi militer maupun ekonomi. Ketegangan di wilayah ini juga meningkatkan risiko konflik, terutama dengan negara-negara yang menentang klaim China seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, serta dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat.

Kekuatan militer China di Laut China Selatan (LCS) sangat dominan, didukung oleh modernisasi dan strategi militer yang komprehensif. Namun, ekspansi pengaruh China di kawasan ini menimbulkan pertanyaan serius dari perspektif hukum internasional, terutama terkait kepatuhan terhadap UNCLOS dan putusan PCA 2016. Untuk menghadapi tantangan ini, komunitas internasional harus memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum laut ditegakkan, sambil menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan yang vital bagi perdagangan global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun