Ancaman nuklir di Semenanjung Korea telah menjadi isu mendesak dari sudut pandang hukum internasional, geopolitik, dan stabilitas regional di kawasan Asia Timur serta Asia Tenggara. Ketegangan ini tidak hanya dipicu oleh aktivitas uji coba rudal balistik oleh Korea Utara, tetapi juga terkait dengan dinamika aliansi strategis antarnegara di kawasan tersebut, termasuk keterlibatan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, serta hubungan baru yang mulai terbentuk antara Korea Utara dan Rusia. Dari perspektif hukum internasional, beberapa instrumen hukum utama seperti Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan Resolusi 1718 Dewan Keamanan PBB menetapkan kewajiban negara-negara untuk mencegah penyebaran senjata nuklir sekaligus mempromosikan perdamaian global.
Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) mengatur secara tegas dalam Pasal II bahwa negara-negara non-nuklir dilarang memiliki atau memperoleh senjata nuklir, dengan tujuan membatasi kepemilikan senjata nuklir hanya pada lima negara yang diakui sebagai Negara Pemilik Senjata Nuklir (NWS) di bawah NPT. Sebelumnya, Korea Utara merupakan negara pihak dalam NPT, namun negara ini menarik diri pada tahun 2003, menciptakan tantangan dalam penerapan aturan non-proliferasi terhadapnya. Meskipun demikian, tekanan internasional terus berlanjut melalui berbagai resolusi PBB, termasuk Resolusi 1718 Dewan Keamanan PBB, yang mengharuskan Korea Utara menghentikan seluruh kegiatan terkait program nuklirnya. DK PBB menetapkan sanksi berupa embargo ekonomi, pelarangan impor dan ekspor senjata, serta pembatasan akses terhadap bahan dan teknologi nuklir dan rudal balistik. Dalam hal ini, resolusi DK PBB bersifat mengikat bagi semua anggota, yang diwajibkan mematuhi ketentuan embargo ekonomi yang ditetapkan. Ketidaksediaan Korea Utara mematuhi Resolusi 1718 serta beberapa resolusi tambahan semakin memperumit ancaman nuklir ini, yang berdampak pada stabilitas keamanan global.
Dari perspektif geopolitik, ancaman nuklir Korea Utara mendorong peningkatan perlombaan senjata di Asia Timur, terutama di antara negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang, yang semakin memperkuat aliansi militer dengan Amerika Serikat. AS, sebagai sekutu utama Jepang dan Korea Selatan, meningkatkan kehadiran militernya di kawasan ini sebagai bentuk langkah pertahanan. Sebagai contoh, terbentuknya aliansi trilateral mencakup latihan militer bersama, pertukaran intelijen, serta pengembangan sistem pertahanan rudal, yang semuanya ditujukan untuk membendung potensi ancaman dari Korea Utara. Di sisi lain, kemitraan strategis antara Korea Utara dan Rusia dalam aspek militer dan teknologi menunjukkan adanya kepentingan geopolitik yang lebih luas, serta potensi perluasan pengaruh Rusia di kawasan tersebut.
Ancaman nuklir yang meningkat di Semenanjung Korea berpotensi mempengaruhi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang menuntut respons diplomatik aktif sesuai kebijakan luar negeri bebas aktif seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dapat mengupayakan langkah-langkah preventif diplomatik, antara lain melindungi keselamatan warga negara Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang menetapkan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepentingan negara, warga negara, dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Sebagai langkah mitigasi, Indonesia dapat mempersiapkan rencana evakuasi bagi WNI di Korea Selatan dan Jepang apabila situasi semakin memanas. Di samping itu, Indonesia dapat menggunakan diplomasi multilateral sebagai strategi utama, melalui keterlibatan aktif di ASEAN atau PBB untuk mempromosikan dialog damai. Dengan berperan sebagai mediator yang netral, Indonesia berpotensi mendorong dialog preventif guna menurunkan ketegangan dan menghindari konflik.
Secara keseluruhan, ancaman nuklir di Semenanjung Korea mencakup isu-isu hukum internasional yang rumit, kompleksitas aliansi strategis, dan risiko geopolitik yang berdampak luas. Oleh karena itu, penting bagi komunitas internasional untuk terus menggalakkan diplomasi preventif, memperkuat dialog multilateral, serta menegakkan ketentuan dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan Resolusi 1718 DK PBB guna menekan Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya. Pemerintah Indonesia juga perlu memantau situasi ini dengan cermat, memperhatikan keselamatan warga negara Indonesia di kawasan terdampak, sekaligus menjalankan peran aktif dalam diplomasi internasional demi mencapai solusi damai yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H