RITUAL DAN KULTUR DALAM IBADAH
Tulisan ini diilhami oleh ceramah Prof. Dr. Sofyan Ka'u, wakil rektor Institut Agama Islam Negeri Gorontalo pada sholat tarwih di Masjid Darul Arqam Pimpinan, Wilayah Muhammadiyah Gorontalo. Penceramah menguraikan dimensi tiga dimensi dalam ibadah Agama Islam. Untuk itu dia mengambil contoh ibada puasa. Ibadah puasa, mengandung dimensi ritual, historis, dan kultural. Merujuk pada Firman A;;ah pada Surat Al-Baqarah ayat 183 yang terjemahannya berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Menurut sang professor, kewajiban berpuasa adalah dimensi ritual, yakni ibadah, sedangkan dimensi historisnya adalah informasi bahwa ibadah ini juga telah diwajibkan atas orang-orang sebelum ummat Nabi Muhammad SAW.
Kemudian bagaimana dengan dimensi kultural atau budayanya? Merujuk pada salah satu kitab fiqh, beliau mengatakan bahwa dalam sholat berjamaah iman berkewajiban membantu kehusukan makmun dan itu dengan cara membawakan surat dal Al-Quran dengan lagu dan suara yang merdu. Kemerduan pembacaan ini adalah seni dan seni adalah bagian dari budaya.
Untuk tulisan selanjutnya, saya memfokuskan pada dimensi ritual dan budaya pada ibadah Islam, hal ini sesuai dengan latar belakang minat saya, yakni bidang budaya. Yang pertama adalah ibadah sholat. Ibadah sholat adalah ibadah ritual, mulai dari berwudhu, kemudian berpakaian yang menutup aurat, berdiri menghadap kiblat, takbiratul ihram, hingga salam. Ini adalah dimensi ritual yang tak boleh ditinggalkan.
Dimensi kulturalnya adalah, yang pertama pakaian. Fiqh sholat hanya menyaratkan pakaian yang menutup aurat, tidak menyaratkan model pakaian. Model pakaian termasuk pada dimensi budaya. Kita di Indonesia biasanya memakai baju koko, bersarung, dan berkopiah. Saudara-saudara kita dari Timur Tengah biasanya mengenakan jubah dan sorban. Kaum Muslimin di Gorontalo sebagian mengenakan kopiah keranjang atau dalam bahasa lokalnya disebut upiya karanji.
Azan sebagai metode pemanggilan sholat adalah ritual. Lafal azan sudah baku sesuai fiqh, dibuka dengan kalimat takbir dan ditutup dengan takbir. Demikian juga dengan iqomah. Namun lagu azan tidak diatur dalam fiqh. Maka kita menyaksikan berbagai variasi lagi azan, sesuai dengan daerah masing-masing. Maka lagu azan dan iqomah masuk dalam budaya.
Dalam ibadah puasa juga berlaku hal yang sama. Fiqh puasa adalah dimensi ritual. Imsak, hal-hal yang membatalkan puasa, itu adalah dimensi fqh. Namun dalam palaksanaan sahur dan buka kita masuk pada dimensi budaya. Makanan apa yang dimakan itu budaya. Bagi Kaum Muslimin di Gorontalo, sahur pertama biasanya dengan menu daging ayam. Demikian juga dengan buka pertama. Itulah dimensi budaya dalam ibadah puasa.
Masyarakat Gorontalo biasanya pada malam tanggal 27 Ramadan mengadakan acara pasang lampu yang dikenal dengan "Tumbilotohe". Pada malam itu setiap rumah menyalakan lampu di dekat pintu pagar. Menurut beberapa narasumber, tradisi bermula pada perintah raja pada zaman dahulu untuk memasang lampu di tepi jalan dekat pintu pagar masing-masing. Ini untuk membantu mereka yang sedang berjalan ke masjid, maklum dahulu belum ada listrik. Jumlah lampu disesuaikan dengan penghuni rumah agar memudahkan petugas pemungut zakat fitrah mengetahui jumlah para wajib zakat fitrah di setiap rumah. Hingga kini hal itu menjadi tradisi dengan mengadaptasi teknologi lampu listrik.
Dalam merayakan hari raya juga terjadi hal yang sama. Ritual Idul Fitri dan Idul Adha adalah takbir, sholat, dan di Hari Raya Idul Adha ada penyembelihan hewan kurban. Itu adalah dimensi ritual. Adapun dimensi budaya adalah lagu takbir. Lagu takbir berbeda-beda antar negara. Lagu takbir di Indonesia memiliki lagu yang khas, yang berbeda dengan lagu takbir di Saudi. Demikian juga dengan penganan hari raya. Di Indonesia penganan khas adalah ketupat, burasa, dan aneka kue daerah masing-masing.
Masjid juga tidak lepas dari itu semua. Semua masjid harus menghadap kiblat. Namun model masjid dan interior masjid adalah budaya. Interior masjid biasanya adalah kaligrafi Alquran. Namun dalam masjid tidak dipernankan adanya patung karena itu menyerupai tempat ibada agama lain.
Beberapa Catatan
Apa yang dapat diambil dari fenomena ini? Yang pertama adalah, bagaimanapun agama tidak bisa lepas dari budaya. Ketika Agama Islam masuk ke suatu daerah, maka dia tidak memasuki ruang yang kosong. Di daerah itu sudah ada penduduk yang memiliki budayanya. Maka agama Islam mengakomidir unsur budaya selama itu tidak bertentangan dengan Aqidah.
Yang kedua, budaya tidak menafikan agama, tapi budaya turut mewarnai agama. Lagu surat yang dibawakan oleh imam dengan suara merdu adalah seni dan seni adalah bagian dari budaya. Seni yang dibawakan oleh imam sholat justeru membantu kehusukan sholat makmum.
Tradisi bersahur dan berbuka di awal Ramadhan oleh Kaum Muslimin Gorontalo adalah ekspresi kegembiraan bahwa mereka masih mendapat kesempatan untuk beribadah puasa. Jadi itu adalah ekspresi kesyukuran kepada Allah. Kegembiraan itu diwujudkan dengan kegembiraan menyantap daging ayam yang bagi masyarata Gorontalo termasuk makanan elit. Untuk Idul Fitri kita di Indonesia menyediakan makanan yang berbeda dengan makanan di hari-hari biasa, ketupat, burasa, dan lain-lain. Iyu adalah ekspresi kegembiraan telah berhasil menjalani ibadah puasa sebulan penuh.
Tradisi pasang lampu atau "tumbilotohe" di Gorontalo adalah tradisi budaya yang memperkuat ajaran Islam pada masa dahulu. Kini hal itu menjadi tradisi turun temurun di Gorontalo dengan penyesuaian perkembangan teknologi lampu listrik.
Perbedaan lagu takbir anatar negara adalah symbol perbedaan, namun masih dalam bingkai yang sama, yaitu mengagungkan Allah.Lafal takbir yang sama, namun dengan langgam yang berbeda menunjukkan betapa kayanya kita dengan budaya namun masih dalam satu Aqidah Islam.
Interior masjid yang berhiaskan kaligrafi akan membantu jamaah untuk menghayati firman Allah. Ini akan membantu mereka untuk khusuk dalam sholat dan pada akhirnya akan sampai pada penghayatan akan keagungan Allah. Ini mengingatkan saya pada ungkapan seorang guru besar filsafat berkebangsaan Prancis, bernama Roger Garaudy yang setelah masuk Islam mengganti namanya menjadi Raja Garaudi. Dalam bukunya berjudul "Promises de la Islam" yang diterjemahkan menjadi "Janji-janji Islam" beliau mengatakan "Segala seni  membawa kepada masjid, segala masjid membawa kepada sholat, dan segala sholat membawa kepada Allah." Seni yang dimaksud di sini tentu saja seni yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Penutup
Sebagai penutup saya menyatakan bahwa seni bisa membantu ritual Islam. Seni sangat membantu pelaksanaan ibadah. Maka seni dan Islam tidak perlu dipertentangkan.
Gorontalo, 25 Maret 2024
Adriansyah A. Katili
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H