Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Melukis dunia dengan kata-kata.

Pendidik anak bangsa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Gorontalo yang gemar membaca segala macam bacaan dan suka melukis dunia dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak Angket Politik, Akankah Terjadi?

24 Februari 2024   13:10 Diperbarui: 25 Februari 2024   03:11 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan presiden telah berlangsung. Hasil hitung cepat sementara ini menunjukkan keunggulah pasangan 02 Prabowo-Gibran melebihi 50 persen. Namun hasil ini ditenggarai sebagai kemenangan semu, pasalnya proses pemilihan dianggap penuh lecurangan. Pihak-pihak yang  menuduh adanya kecurangan mengklaim memikiki bukti. Presiden Jokowidodo yang diharapkan bersikap netral, dituduh terlibat dalam kecurangan. Bahkan presiden dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kecurangan itu.

Sementara itu, timbul dua wacana menyikapi kecurangan itu. Wacana pertama membawa ke Mahkamah Konstitusi. Menggugat ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugat hasil perhitungan suara.  Wacana kedua menggunakan hak angket anggota DPR untuk memakjulkan Presiden Jokowidodo karen dituduh menjadi dalang kecurangan itu, yang menurut sebagian kalangan dilakukan sejak sebelum Pilpres berlangsung, yang ditandaia dengan adanya intervensi pada MK  berkenaan dengan peraturan mengenai umur calon presiden dan wakil presiden, hingga proses penghitungan suara. 

Hak angket digagas oleh PDIP. PDIP mengajak partai pendukung pasangan 01 Anies Basweda - Muhaimin Iskandar dan Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk menggunakan hak angket. Namun, apakah ini akan berhasil? Keberhasilan hak angket ini ditentukan oleh suara para anggota DPR. Namun apakah hak angket ini akan berhasil digulirkan? Pertanyaan saya ini dikarenakan oleh kecenderungan politik di Indonesia. Ada kecenderungan partai-partai yang kalah dalam Pilpres akan bergabung dengan partai pemenang. Saya memperhatikan ini sejak pilpres tahun 2014 sampat pilpres tahun 2019. Partai-partai pendukung calon presiden yang kalah akhirnya bergabung dengan partai pemenang. Bahkan ketua umumnya menjadi anggota kabinet presiden pemenang. Bila ini terjadi pada tahun 2024 ini, maka saya berpikir hak angket hanya akn tinggal wacana dari PDIP.

Baca juga: Politik Meja Makan

Satu Catatan

Hanya saja ada satu catatan yang menarik. Politik yang ada di Indonesia adalah politik pragmatis. Politik pragmatis adalah politik yang berpatokan pada menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, tanpa perduli pada norma kepatutan. Ini terlihat  pada perilaku para politisi. Pada pilpres tahun 2019, PDIP dengan dipimpin oleh ketua umumnya mendukung mati-matian Jokowidodo yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin.  Saat itu dia berseberangan dengan Prabowo. Jokowidodo yang saat itu berpasangan dengan Ma'ruf Amin dinyatakan menang oleh KPU. Kemenangan ini ditenggarai oleh Paslon Prabowo-Sandiaga sebagai curang dan digugat ke Mahkamah Konstitusi.  Saat itu masyarakat pemndukung Prabowo-Sandiaga tumpah ruah ke Jakarta, menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga. PDIP dan koalisinya mendukung Jokowidodo.

Kini, keadaan berbalik. PDIP menyatakan bahwa kemenangan Prabowo sebagai curang, dan bahwa kecurangan ini didukung oleh Presiden Jokowidodo. Kini PDIP mengajak partaai pengusung paslon 01 dan 03 untuk mengajukan hak angket ke DPR untuk memakjulkan presiden. Smentara itu sikap partai pendukung paslon 01 dan 03 belum jelas, apakah akan bersama PDIP mendukung hak angket atau malah akan bergabung dengan pemenang dengan harapan akan mendapat kursi di kabinet. 

Baca juga: Bahasa dan Politik

Politik pragmatis yang berpihak pada kepentingan sendiri dan golongan telah membuat politik di Indonesia kelihatan tidak berpihak pada negara. Pragmatisme terlihat pada hampir semua parpol. Sikap PDIP menurut saya lebih pada sikap pragmatis, terlihat pada perbedaan sikapnya pada tahun 2019 dan pada tahun 2024. Sementara sikap partai lain, kita masih menunggu. Bila mereka menolak hak interpelasi, apakah karena legowo atau pragmatis, akan terlihat nanti apakah mereka akan bergabung dengan partai penguasa dengan imbalan kursi kabinet atau mengambil sikap oposisi agar ada keseimbangan kekuatan di parlemen demi tegaknya demokrasi dan kebaikan bangsa dan negara ini. Sekali lagi, kita menunggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun