Ada apa denganmu, Eyang Sapardi? Ada apa dengan Pada Suatu Hari Nanti? Pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik hati dan pikiranku, pada suatu hari saat iseng membuka  https://jateng.tribunnews.com dan terbacalah tiga bait sajak karya Professor Sapardi Djoko Damono yang akrab dipanggil dengan Eyang Sapardi, seorang guru besar Sastra Indonesia sekaligus sastrawan penyair kondang dengan karya-karya yang tak terhitung lagi.
Karya sajak, yang sangat indah, membuat aku terbawa rasa yang tersirat dalam sajak itu. Sajak yang memuat kata-kata bernas, penuh pesan kreatifitas. Aku kutip sajak itu sebagai berikut:
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.
(1991)
Aku mencoba memasuki bagian terdalam sajak ini. Kutelusuri labirin-demi labirin dalam sajak. Mengamati, menelaah bait demi bait, larik demi larik, huruf demi huruf. Kucari hakekat makna terdalam. Kucari pesan-pesan tersirat. Dan sebelum aku menemukan makna pesan, aku semakin terpukau. Bait-bait, larik-larik, huruf-huruf seakan mawar indah yang memukau. Labirin-labirin itu menjelma taman yang sangat indah. Dan aku mencoba menelusuri lagi. Tiba-tiba sajak itu menjelma lautan teduh yang menyimpan mutiara-mutiara makna yang tak bisa dinilai dengan trilyunan rupiah. Baris demi baris, bait demi bait, kata demi kata adalah pesan berharga, teramat berharga. Â
Ketika membaca baris pertama, Pada suatu hari nanti, terbersit pertanyaan dalam hatiku, ada dengan pada suatu hari nanti? Kapan suatu hari nanti itu? Frasa itu menyiratkan suatu hari yang entah kapan, entah besok, entah lusa, dan berbagai entah yang berkenaan dengan waktu.