Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.

Saya dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Memiliki hobi membaca dan menulis. Saya membaca buku fiksi maupun non fiksi dan puisi. Saya juga suka menulis, baik tulisan ilmiah, ilmiah populer, fiksi, dan puisi.,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Menulis Maka Aku Ada

28 Oktober 2023   05:29 Diperbarui: 2 Februari 2024   06:02 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul tulisan ini mengingkan kita pada ungkapan seorang filsuf beraliran rasionalisme, Rene Descartes Cogito Ergo Sum, yang berarti Aku berpikir maka aku ada. Di sini penulis mencoba mengadaptasi ungkapan itu dalam bidang tulis menulis. Bila ungkapan Rene Descartes Aku berpikir maka aku ada menyiratkan bahwa dengan berpikir maka seseorang pemikir eksis, maka ungkapan judul menyiratkan bahwa seorang penulis akan eksis bila ada karya tulisan yang dipublish sehingga bisa dibaca banyak orang dan memberi inspirasi.

Tulisan ini juga adalah wujud dari judul di atas, tulisan yang diharapkan bisa meninspirasi pembaca, khsusunya para pendidik yang terdiri dari dosen dan guru, serta para mahasiswa yang sedang belajar agar bisa menulis, menginspirasi masyarakat. Inspirasi yang diharapkan bisa membawa kebaikan bagi kemanusiaan.

Judul tulisan ini dan ungkapan dari Rene Descartes sesungguhnya memiliki hubungan yang erat. Sebuah tulisan sesungguhnya dimulai dari proses berpikir. Namun berpikir di sini bukanlah berpikir secara dangkal. Berpikir di sini adalah berpikir secara radikal. Berpikir secara radikal dalam filsafat adalah berpikir secara mendalam untuk memahami secara mendalam sampai ke akar hakekat mengenai yang ada. Sebagai misal, seorang pendidik yang berpikir secara radikal mengenai hakekat pendidikan, akan memahami secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai hakekat pendidikan.

Namun menurut hemat saya, berpikir tidak akan cukup menjadikan kita berada. Seorang pemkir juga wajib menulis. Mengapa orang yang berpikir perlu menulis? Berikut ini alasan mengapa seorang pemikir wajib menulis.

Yang pertama, untuk menyebarluaskan idea-idea hasil pemikiran. Ada beberapa alasan mengapa seorang pemikir perlu menyebarluaskan hasil pemikirannya. Yang pertama, hasil pemikiran diharapkan berguna bagi masyarakat. Hasil pemikiran akan mencerahkan kehidupan masyarakat. Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikir dan penggerak pembaruan pemahaman Islam di Indonesia semisal K.H. Ahmad Dahlan, tercerahkan oleh pemikir Islam semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua pemikir itu adalah penulis asal Mesir yang hasil tulisannya dibaca oleh seorang putera Indpnesia dan menjadi cikal bakal fondasi pergerakan Muhammadiyah. Bagi seorang dosen, seorang akademisi, berpikir untuk melahirkan idea, menyebarluaskan melalui tulisan, menulis sudah merupakan kewajiban. Diharapkan hasil tulisannya mencerahkan mahasiswa bimbingannya.

Yang kedua, untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Ini khusus untuk para akademisi, para ilmuan. Ilmu pengetahuan hasil penelitian seorang akademisi diharapkan bisa berkembang. Tulisan itu akan dibaca oleh para ilmuan lain dan akan berkembang dengan adanya tinjauan kritis dan tambahan pemikiran. Pada akhirnya pemikiran itu akan semakin berkembang.

Yang ketiga, dokumentasi pemikiran atau idea. Pemikiran yang terdkumentasikan tidak akan mudah hilang karena tulisan yang bersifat relatif abadi. Ini berbeda dengan pemikiran yang hanya disampatkan secara lisan. Pemikiran yang disampaikan secara lisan akan mudah hilang.

Yang keempat, membuat kehidupan penulis menjadi abadi. Abadi di sini maksudnya kehidupan penulis abadi melalui tulisan. Kita menyaksikan banyak sekali penulis zaman dulu yang namanya masih tetap dibicarakan, semisal HAMKA, penulis yang sastrawan sekaligus ulama. Buku-buku tulisannya sampai sekarang masih dibaca orang. Pemikiran-pemikirannya masih dipertimbangkan dan dipandang relevan sepanjang zaman. Jadi HAMKA sudah almarhum tapi namanya tidak menjadi almarhum, masih hidup sepanjang zaman. Tidak heran bila ada penulis yang mengatakan bahwa kita perlu membuat hidup kita abadi dengan menulis. Sapardi Djoko Damono, seorang penyair kodang Indonesia, mengatakan dalam puisinya Pada Suatu Hari Nanti, bahwa bila jasadnya tak ada lagi, maka tulisan-tulisannya akan tetap membersamai para pembaca.

Bagi kaum Muslimin, sebagai amal jariah. Amal jariah adalah amal yang pahalanya mengalir terus pada yang bersangkuta meskipun dia sudah berada di alam barzah. Dia sudah tidak bisa beramal lagi karena sudah almarhum. Tapi tulisan-tulisannya yang bermanfaat adalah adalah amalnya yang tetap dilakukannya meski dia tidak bisa lagi beramal secara fisik.

Demikianlah tulisan ini. Semoga bisa menginspirasi kita untuk menulis. Menulislah agar kita tetap eksis di dunia, meskipun jasad kita sudah tak ada lagi.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun