sastra dan agama adalah hal menarik, termasuk bagi saya. Menarik karena sastra dan agama adalah dua hal yang berbeda. Agama berasosiasi dengan ibadah ritual, hukum-hukum agama yang disebut syariah dalam agama Islam, dan sederetan ajaran-ajaran yang harus diyakini dan diamalkan. Sementara sastra berasosiasi dengan bahasa, sesuatu yang imajinatif, pikiran-pikiran dan ekspresi yang dinyatakan secara imajinatif menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa komunikasi biasa.
Perbincangan tentangMeskipun keduanya berbeda, namun bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu. Ada titik-titik di mana mereka sangat akur, bahkan mesra. Dalam tradisi pesantren di Indonesia, sering ada pembacaan puisi religius seperti Mauludan, Barzanzi, Burdah yang dinyanyikan dengan iringan pukulan rebana. Puisi-puisi yang dinyanyikan oleh para santri itu berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam khasanah persufian, kita sering membaca puisi-puisi karya para sufi. Kita banyak membaca karya sufi terkenal seperti Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi. Puisi-puisi itu berisi penghayatan ketuhanan yang sangat tinggi dan mendalam. Pengalaman-pengalaman ketuhanan itu diekspressikan dalam wadah puisi yang sarat dengan makna simbolis karena pengalaman itu tak dapat diungkapkan dengan bahasa yang lugas.
Salah satu penghayatan puisi yang sangat bagus adalah puisi karya Chairil Anwar yang sangat terkenal, Doa. Melalui diksi-diksinya kita bisa membaca betapa Chairil Anwar sangat menghayati perasaan ketuhanan yang begitu mengisi jiwa dan hatinya. Pada akhir larik puisinya, misalnya, dia berkata, "Di pintumu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling." Kita membayangkan seseorang yang mengetuk pntu suatu rumah dan berharap bahwa pemilik rumah itu bersedia membukakannya agar si pengetuk bisa masuk dan berlindung di rumah itu. Atau puisi salah seorang dosen saya di Unhas, Pak Nunding Ram yang berkata dalam salah satu puisinya yang dipublish di FB tanggal 15 Juni 2017, " Kucoba mengetuk pintu-MU ternyata sejak semula senantiasa terbuka..." Ungkapan ini terasa sangat puitis dan sangat menggambarkan penghayatan keagamaan dari diri sang penulis, betapa pintu Tuhan senantiasa terbuka untuk para hamba-Nya. Secara simbolis, pintu ini menyiratkan bahwa Tuhan senantiasa menerima hamba-Nya yang mau mengharapkan kasih sayangnya.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai penikmat dan pencinta sastra sekaligus kaum beragama? Bagi kita sastra adalah seni, dan seni ini kita gunakan untuk menghayati kenikmatan dan keindahan dalam bertuhan. Meskipun tidak dapat disamakan dengan ibadah ritual keagamaan, namun bisa untuk mengasah keimanan kita, membawa kita kepada suatu titik zenith kesadaran akan kebertuhanan kita, bahwa menghayati ketuhanan itu ternyata teramat dan tersangat indah.
Gorontalo 26 September 2017.
Oleh Adriansyah Katili
adriansyahkatili@ung.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H