Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Bubat, Hoaks atau Fakta?

25 Agustus 2024   18:57 Diperbarui: 25 Agustus 2024   19:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nationalgeographic.grid.id

DI KALANGAN insan sejarah, masih terdapat pro dan kontra perihal Perang Bubat. Sebagian mereka menyatakan bahwa Perang Bubat merupakan fakta sejarah. Sementara sebagian mereka lainnya menyatakan bahwa Perang Bubat merupakan hoax (kebohongan) sejarah. Pengertian lain, Perang Bubat tidak pernah terjadi pada era pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit atau pemerintahan Maharaja Linggabuana Wisesa di Sunda.

Perihal pro dan kontra perihal Perang Bubat kiranya menjadi bahasan menarik di dalam buku ini. Namun bila berpijak dari data-data semisal naskah-naskah kuna (Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Serat Pararaton, Carita Parahyangan, Babad Dalem, dan Hikayat Sang Bima) yang menjadi dasar bahwa Perang Bubat merupakan fakta sejarah sangat lemah, maka sebagian besar insan sejarah menyatakan bahwa perang tersebut tidak pernah terjadi.

Sungguhpun demikian, masih banyak insan sejarah masih meyakini bahwa Perang Bubat pernah terjadi. Keyakinan mereka bisa dimaklumi. Mengingat mereka bukan dari kalangan ahli sejarah, melainkan para awam sejarah yang masih meyakini bahwa cerita tutur sebagai fakta sejarah. Mereka juga dari kalangan tradisi oral ketimbang dari tradisi baca dan tulis yang menerima kebenaran tanpa melakukan analisa dan riset sejarah.

Pro dan kontra di kalangan insan sejarah sebagaimana diuraikan di muka menjadi dasar untuk menjawab pertanyaan, "Benarkah Perang Bubat pernah terjadi?" Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut dengan bepijak pada dalil-dalil, teori-teori, bukti-bukti sejarah terpercaya, dan analisa kritis; kita ikhtisarkan terlebih dahulu perihal kandungan di dalam buku ini.

Ikhtisar 

Diketahui bahwa Perang Bubat melibatkan langsung antara rombongan pengiring pengantin Sunda dan pasukan Majapahit. Karenanya, sejarah mengenai kerajaan Sunda dan Majapahit serta hubungan kekerabatan kedua kerajaan tersebut disampaikan pula. Kekerabatan kedua kerajaan tersebut terbentuk karena Dyah Wijaya (pendiri kerajaan Majapahit) merupakan keturunan Rakeyan Jayadarma (tanah Sunda) dan Dyah Lembu Tal (Singhasari).

Berpijak pada uraian di muka bisa disimpulkan bahwa kehendak Hayam Wuruk untuk menikahi Dyah Pithaloka Citraresmi (putri Maharaja Linggabuana Wisesa) memiliki tendensi politis yakni memererat hubungan kekerabatan antara Sunda dan Majapahit yang mulai renggang sejak pemerintahan Jayanagara hingga Tribhuwana Tunggadewi.

Akan tetapi tujuan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pithaloka Citraresmi yang bertujuan untuk memererat hubungan anara Majapahit dan Sunda tersebut berbenturan kepentingan Gagasan Nusantara dan Sumpah Palapa dari Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada. Di mana Sunda merupakan salah satu target Gajah Mada yang harus ditundukan oleh Majapahit.

Karena benturan kepentingan politis antara Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dengan Hayam Wuruk tersebut, maka timbullah Perang Bubat. Di mana Gajah Mada yang menghendaki Dyah Pithaloka Citraresmi sebagai tanda takluk Sunda pada Majaphit ditentang oleh Maharaja Linggabuana Wisesa. Akibatnya, perang antara rombongan pengiring pengantin Sunda dan pasukan Bhayangkara tidak bisa dihindari lagi. Akhir dari perang bukan hanya menewaskan Maharaja Linggabuana Wisesa, permaisuri, dan seluruh rombongan pengiring pengantin Sunda; melainkan pula menyebabkan Dyah Pithaloka Citraresmi nekat melakukan bunuh diri.

Akibat Perang Bubat bukan hanya menyebabkan tewasnya Maharaja Linggabuana Wisesa, permaisuri, rombongan pengiring pengantin Sunda, dan Dyah Pithaloka Citraresmi; namun pula menyebabkan semakin retaknya hubungan Sunda dan Majapahit. Perang Bubat pula menyebabkan, antara lain:

  • Sepeninggal Dyah Pithaloka Citraresmi, Hayam Wuruk yang sangat berduka hatinya itu meninggal. Pernyataan Serat Pararaton ini tidak selaras dengan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa paska kematian Dyah Pithaloka, Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi atau Indudewi.
  • Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dijauhkan dari urusan politis Majapahit. Dengan demikian, Gajah Mada tidak berwenang lagi untuk merealisasikan Gagasan Nusantara dan Sumpah Palapa yang dimanifestasikan dengan menundukkan kerajaan-kerajaan baik di Jawa maupun di nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Menurut Serat Pararaton bahwa berakhirnya Perang Bubat, Gajah Mada yang akan ditangkap oleh raja Kahuripan dan raja Daha (kedua paman Hayam Wuruk) tersebut melakukan moksa, wafat tanpa meninggalkan raganya.
  • Kedudukan Gajah Mada sejak Perang Bubat mulai menurun di mata Hayam Wuruk. Sungguhpun demikian, Hayam Wuruk memberi Gajah Mada berupa tanah di Madakaripura (Probolinggo), yang dapat diartikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai memertimbangkan untuk pensiun. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bahwa Hayam Wuruk tidak lagi terlalu memercayai Gajah Mada. Sejak Perang Bubat, Hayam Wuruk lebih berusaha mengambil keputusan sendiri.
  • Hayam Wuruk menyusun sistem pemerintahan baru yang membuat penguasa dapat aktif secara langsung, dan meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting. Ia juga mulai melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengetahui kondisi masyarakatnya.  Rakyat menjadi terkesan dengan sistem pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, walaupun Gajah Mada tetap menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi namun kekuasaannya tidak lagi sebesar dulu.
  • Di kalangan kerabat kerajaan Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dengan luar lingkungan kerabat Sunda atau dengan pihak timur Kerajaan Sunda (Majapahit).
  • Berkat keberaniannya melawan pasukan Majapahit hingga tewas dalam Perang Bubat, Maharaja Linggabuana Wisesa mendapat julukan baru yakni Prabu Wangi.
  • Mahapatih Amangkubhumi Hyang Bunisora Suradipati dinobatkan sebagai raja. Namun sesudah putra mahkota dari Maharaja Linggabuana Wisesa yang bernama Niskala Wastu Kancana berusia dewasa, Bunisora Suradipati turun tahta. Sebagai pengganti penguasa kerajaan Sunda adalah Niskala Wastu Kancana.

Perihal peristiwa Perang Bubat tidak diberitakan oleh prasasti-prasasti atau naskah-naskah sastra yang dikeluarkan (diterbitkan) semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Pengertian lain, Perang Bubat hanya diberitakan melalui naskah-naskah yang digubah paska era Majapahit, semisal: Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Serat Pararaton, Carita Parahyangan, Babad Dalem, dan Hikayat Sang Bima. Dengan demikian, buku ini merekam tentang Perang Bubat yang dikisahkan di dalam Kidung Sunda, Serat Pararaton, dan Carita Parahyangan.

Pada bagian akhir buku ini pula dikisahkan perihal Perang Bubat. Kisah bertajuk Mendung di Langit Bubat karya Krisna Bayu Adji tersebut merupakan bentuk eksplorasi dari berbagai versi kisah Perang Bubat yang disampaikan oleh beberapa naskah kuna dan cerita tutur yang berkembang di masyarakat. Hal ini layak disampaikan agar pembaca semakin memahami bahwa Perang Bubat yang diragukan sebagai fakta sejarah tersebut dapat mengalami perkembangan cerita berdasarkan kreasi dari para sastrawan.

Perang Bubat sebagai Kebohongan Sejarah 

Selain ditulis oleh para pujangga dan sejarawan, Perang Bubat sering dibahas dan dianalisa di kalangan sejarawan, sastrawan, dan budayawan. Dari diskusi ke diskusi belum memutuskan apakah Perang Bubat merupakan hoax atau fakta sejarah. Pengertian lain, akhir diskusi masih terdapat pro dan kontra di antara mereka tentang terjadi atau tidak pernah terjadi perang antara rombongan pengantin dari Sunda dan pasukan Bhayangakara dari Majaphit di lapangan Bubat tersebut.

Namun bila melihat perkembangannya, banyak di kalangan sejarawan meragukan mengenai adanya Perang Bubat. Mereka memiliki alasan kuat untuk menyanggah mengenai kepercayaan adanya Perang Bubat yang hanya bersumberkan beberapa naskah sastra, semisal: Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Serat Pararaton, Carita Parahyangan, Babad Dalem, dan Hikayat Sang Bima.

Sanggahan dari para sejarawan bahwa Perang Bubat hanya merupakan kebohongan sejarah berdasarkan teori-teori atau dalil-dalil, sebagai berikut:

  • Perang Bubat hanya dikisahkan oleh naskah-naskah kuna yang digubah paska runtuhnya Majapahit. Pengisahan naskah-naskah kuna perihal terjadinya Perang Bubat tidak didukung oleh data-data sejarah baik prasasti maupun naskah yang dikeluarkan atau diterbitkan semasa atau paska pemerintahan Hayam Wuruk atau Maharaja Linggabuana Wisesa.
  • Paska timbulnya Perang Bubat tidak ada permusuhan antara Sunda dan Majapahit. Kerajaan Sunda semasa pemerintahan Prabu Bunisora hingga Niskala Wastu Kancana tidak melakukan balas dendam terhadap Majapahit. Padahal paska pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kekacauan politik yang ditandai dengan timbulnya Perang Paregreg yakni antara Wikramawardhana (Majapahit Timur) versus Bhre Wirabhumi (Majapahit Barat).
  • Sungguhpun Perang Bubat mengakibatkan terbunuhnya Maharaja Linggabuana Wisesa, namun Majapahit tidak berhasil menundukkan Sunda. Suatu wilayah di Pulau Jawa yang menjadi target Sumpah Palapa Gajah Mada untuk ditundukkan di bawah kekuasaan Majapahit.

Berpijak pada teori-teori atau dalil-dalil yang dikemukakan dari para sejarawan tersebut, maka Perang Bubat sekadar berhenti sebagai fiksi sejarah. Suatu karya sastra yang kelahirannya karena tendensi politis dari pihak tertentu atau kaum kolonial pada masanya yang ingin mengadu domba (devide at impera) antara Sunda (Jawa Barat) dan Majapahit (Jawa Timur).

Dengan menyadari bahwa Perang Bubat hanya kebohongan sejarah, maka tidak perlu lagi adanya dendam sejarah dari masyarakat Jawa Barat pada masyarakat Jawa Timur yang berkelanjutan. Dendam sejarah yang dipandang sebagai potensi oleh kaum politisi di dalam memecah belah kesatuan bangsa yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Sri Wintala Achmad ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun