Dea tersenyum kecil, namun raut wajahnya terlihat sedikit gelisah. "Kau tahu... Aku tidak pernah meragukan cinta kita, tapi aku sering bertanya-tanya, bagaimana dunia melihat kita nanti? Bagaimana jika mereka tak pernah mengerti?"
Bayu menarik napas dalam. "Dunia selalu punya pendapatnya sendiri. Mereka mungkin tak akan pernah sepenuhnya mengerti cinta kita, tapi yang penting adalah apa yang kita rasakan. Aku mencintaimu, Dea. Seperti pipimu yang selalu memerah, cintaku padamu juga tak akan pernah pudar."
Dea terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Baginya, Bayu adalah sosok yang tak tergantikan---bukan hanya karena kasih sayangnya, tapi juga karena kebijaksanaan dan ketenangan yang selalu ia bawa. Meski perbedaan usia mereka sering menjadi bahan perbincangan, di mata Dea, Bayu adalah pria yang sempurna untuknya.
"Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," Dea berkata, suaranya bergetar penuh keyakinan. "Aku hanya ingin kita bahagia. Hanya itu yang penting."
Bayu tersenyum, menundukkan kepalanya untuk mencium kening Dea. "Itu juga yang paling penting bagiku, Humairoh-ku."
Sore itu, mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang penuh makna. Waktu seakan berhenti di antara mereka. Dea tahu bahwa dalam pelukan Bayu, ia akan selalu merasa aman dan dicintai, apapun yang terjadi. Pipinya yang selalu memerah setiap kali Bayu memanggilnya "Ya, Humairoh" menjadi saksi bisu akan cinta yang begitu tulus.
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Dea mendongak, menatap bintang-bintang itu sambil menggenggam tangan Bayu.
"Kau tahu," kata Dea sambil tersenyum, "mungkin orang-orang di luar sana tidak akan pernah mengerti. Tapi di bawah langit ini, di dunia kecil kita, cinta ini adalah segalanya."
Bayu memandangnya dengan penuh kelembutan. "Dan itu sudah lebih dari cukup."
Cinta mereka tak perlu penjelasan panjang. Seperti senja yang tak pernah memohon untuk dipahami, mereka hanya ada untuk saling melengkapi. Dunia mungkin tak selalu memahami kisah mereka, namun bagi Dea dan Bayu, cinta mereka sudah cukup menjadi dunia tersendiri---dunia yang hanya mereka berdua yang tahu.
"Ya, Humairoh," bisik Bayu lagi, seperti janji yang tak akan pernah hilang dihembus waktu.
Beberapa bulan berlalu sejak percakapan sore itu. Cinta Dea dan Bayu semakin dalam, namun mereka tahu ada satu tantangan besar yang harus dihadapi---keluarga Dea, terutama orang tuanya. Dea adalah anak pertama, dan orang tuanya sangat menyayanginya. Mereka tentu menginginkan yang terbaik untuk masa depan putrinya, tapi hubungan dengan pria separuh baya seperti Bayu mungkin akan sulit mereka terima.
Suatu malam, di bawah sinar bulan yang lembut, Dea dan Bayu duduk bersama di ruang tamu rumah Bayu. Dea tampak gelisah, sementara Bayu, seperti biasanya, tetap tenang. Mereka tahu saat itu telah tiba. Bayu sudah lama berniat untuk meminang Dea secara resmi, tapi mereka harus menghadapi orang tua Dea lebih dahulu.
"Aku takut, Bayu," kata Dea pelan, jari-jarinya meremas tangan Bayu. "Aku tahu mereka sangat mencintaiku, tapi aku tidak tahu bagaimana mereka akan menerima ini."