Ramadan, 56 Tahun yang Lalu
Oleh: Penadebu
Tubuh mungil, agak sedikit legam. Terpoles di undakan masjid desa Ketawang pantai selatan. Salah satu masjid yang menjadi andalan diriku saat masih berumur belasan tahun. Dengan sandal jepit berkopiah hitam. Sarung baru saja dibelikan simbok saat usai panen lombok. Bahagia rasanya menjadi ibadah salat tarawih di masjid tersebut menjadi bersemangat.
Ini sudah bangga enggak kepalang. Duduk di deretan paling depan. Mendengarkan kultum dari pak Ustaz yang mengisi ceramah sekira 7 menit. Harapannya untuk menguatkan puasa kita selama Ramadhan. Memang sih seumuranku hampir-hampir sangat sepi ke masjid untuk ikut salat tarawih. Malah cenderung banyak ngobrol dan bermain. Bapakku sangat disiplin, dan bahkan terkesan otoriter apabila keinginannya tidak dituruti. Apabila aku ikut bermain membuat gaduh di masjid. Mesti dapat hadiah istimewa, ya sedikit stempel merah di kulit paha, alias dicubit.
Baru menyadari sekarang bahwa bapak mendidik demikian tujuannya untuk kebaikan. Agar semua yang dikerjakan tidak magel alias setengah-setengah. Pada waktu kecil, Aku sangat menantikan bulan Ramadan tiba setiap tahunnya.Â
Bulan yang penuh kebahagiaan dan keberkahan. Setiap pagi, simbok akan membangunkan untuk makan sahur sebelum fajar. Aku selalu menikmati hidangan sahur yang disiapkan oleh simbok, terutama nasi liwet dan sayur gori serta kerupuk. Itu rasanya sudah senang luar biasa. Apalagi di bulan Ramadan harapan berkahnya luar biasa. Walau bapak pedagang ayam kampung abadi, namun memotong ayam setahun sekali ya pas menghadapi lebaran idul fitri saja.
Mengapa Bapak aku sebut pedagang ayam kampung abadi, sebab mulai aku belum lahir sampai mempunyai anak dan sekarang sudah mempunyai 2 cucu.Beliau masih jualan ayam kampung. Tubuh yang merupakan laki-laki tangguh dengan sepeda tua, Bapak masih menyusuri jalanan pasar Kutoarjo sampai hari ini. Menjadi kenangan sejarah. Aku tetap sangat hormat pada beliau. Bahkan perantauan ini membuatku selalu rindu pada Bapak Simbok.
Di siang hari, meskipun cuaca panas, Aku dan teman-temannya selalu bermain bersama di halaman rumah. Mereka bermain layang-layang, bermain kasti, atau bahkan menyanyikan lagu-lagu religi. Aku  juga selalu menyempatkan waktu untuk membaca Al-Quran setiap harinya walau masih terpontal-pontal.
Saat sore hari tiba, Aku selalu menunggu-nunggu waktu berbuka puasa. Aku dan keluarga biasa berbuka puasa dengan singkong rebus dan air putih, lalu melanjutkan dengan hidangan utama seperti nasi liwet dan tempe bacem. Setelah berbuka puasa, Aku sering menghadiri pengajian di masjid atau di rumah tetangga. Jika malam hari pergi mengaji menggunakan oncor. Maklumlah waktu itu belum ada penerang listrik seperti sekarang ini. Aku menggunakan oncor (penerang yang terbuat dari bambu diberi minyak tanah dan ditutup kain bekas sebagai sumbu).
Itulah cerita masa kecil Aku saat Bulan Ramadan. Aku selalu merasa bahagia dan bersyukur pada waktu itu karena dapat merayakan bulan yang penuh keberkahan bersama keluarga dan teman-temanku.
Babulu, 1 April 2021