Oleh: Penadebu
"Matinya saja, kau sudah menyusahkan,"ungkap Subur dengan mata terbelalak dan nafas tersengal-sengal.
 Sabar dan subur adalah dua sahabat yang tidak bisa terpisahkan. Dalam suka duka apapun, mereka selalu bersama. Di mana ada Sabar di situ ada Subur. Mereka adalah sama-sama orang yang tinggal di desa pedalaman. Entah mengapa mereka sepakat untuk sama -sama merantau ke Bukit Subur.
"Bar, seperti yang kita bilang, saatnya nanti apapun yang terjadi kita tidak boleh pisah. Susah senang harus kita hadapi bersama."
"Iya, tentu."
Dengan mata berkaca-kaca Sabar mendengar yang diucapkan Subur di pegangnya erat-erat.
Suatu hari mereka benar-benar merantau untuk perbaikan nasibnya. Beberapa tempat sudah di laluinya. Maklum mereka bermodal keyakinan dan komitmen bahwa laki-laki kelak harus bertanggungjawab terhadap keluarga apabila sudah berumah tangga nanti.
Sawah, gunung, dan lautan sudah dilaluinya. Berjalan beberapa km hingga salah satu dari keduanya jatuh sakit.
Subur kebingungan karena melihat kondisi fisik Sabar semakin melemah. Hingga  Sabar benar-benar menemui ajalnya. Perjalanan masih panjang mau balik ke kampung halaman pun masih jauh, harus berjalan kaki berkilo-kilometer.
Saking lelahnya beristirahatlah Subur. Saat istirahat Sabar yang sudah menjadi mayat ditaruh di gorong-gorong pinggir jalan.