Hiruk pikuk kendaraan yang selalu berhasil memuakkanmata, membuat sebagian orang yang terjebak dengan suasana seperti itu selalu mencari hiburan gratis sembari berlabuh menyusuri jalan yang jauh dari lengang―termasuk saya. Saya melihat sebuah mobil pick up yang kaca bagian depannya tertempel tulisan “DI JUAL”. Terlintas di benak saya, bagaimana jika ada anak kecil yang baru saja belajar penggunaan “di” dari sekolahnya lalu bertanya tanpa dosa kepada orang tuanya “pa, dimana Jual itu? Apa kita bisa berkunjung ke Jual dengan menumpang mobil pick up itu?”
Ingatan saya pun melanglang buana ke masa Bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang harus saya temui seminggu sekali. “Di” dalam penggunaannya dibagi atas dua bentuk pokok. Pertama, “di” yang harus ditulis terpisah dengan kata setelahnya karena menunjukkan tempat. Kedua, “di” yang harus ditulis bersambung dengan kata yang berada setelahnya karena merupakan sebuah awalan untuk kata kerja pasif.
28 Oktober 1928, sekitar 84 tahun silam Indonesia telah mengumandangkan ikrar dalam sebuah Kongres. Sebuah Kongres Pemuda yang kemudian dinamakan “Soempah Poemuda” telah menjadi batu loncatan sejarah salah satu pemersatu bangsa kita, bahasa―”Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mendjoendjoeng Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”.
Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Indonesia yang efektif saling “Kebut-kebutan” dengan bahasa pergaulan. Kamus Besar Bahasa Indonesia seakan menjadi Sahara yang mengugurkan satu per satu bala tentara perangnya karena tak mampu berperang lagi melawan musuh, atau bahkan panas yang mulai membunuh secara perlahan. Banyak kata-kata baku yang sangat jarang dipakai, oleh karena termakan oleh kata-kata pergaulan.
Bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu kita, baik itu secara lisan maupun tulisan. Dan sayangnya, kesalahan akan penggunaannya sering kali ditemukan dalam berbagai bentuk pengungkapannya. Saya yakin bahwa tidak sedikit yang sebenarnya telah menyadari hal ini. Ketika “DI” salah tempat, maka hancurlah maknanya.
Soenjono Dardjowidjojo dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan bahwa selama bahasa masih dipakai oleh manusia maka selama itu pula akan muncul variasi dari manusia satu ke manusia lain. Lantas, apakah mungkin tulisan “Di Jual” ataupun “Dirumah” adalah hasil variasi? Semoga saja tidak.
Bahasa menunjukkan Bangsa. Dan semoga, bahasa kita tidak mengantarkan bangsa ini ke Gerbang Bangsa "Salah Tulis".
Pada satu malam,
Ketika "di" salah tempat
Ketika "di" tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H