Minggu ini tepat sebulan saya dan teman-teman saya membawa “misi suci” ke sebuah desa yang tepisah sungai dengan Universitas Hasanuddin, Desa Lakkang. Minggu ini adalah minggu keempat diaksanakannya Sekolah Media Literasi (SMILE) di desa ini bersama dengan murid kelas 4 & 5 Sekolah Dasar Negeri (SD N) Lakkang.
Bercermin pada kenyataan hari ini, akan terpaan media tanpa ampun. Maka tidak ada pilihan lain yang bijaksana selain bergerak sekecil apapun dengan apa yang kita mampu lakukan. Dan kami melakukannya dengan membumikan Media Literasi dengan bentuk yang berbeda dari mainstream hari ini di Makassar. Tidak hanya terhenti di Hari Tanpa TV, atau menyebarkan selebaran-selebaran mengenai bagaimana media hari ini menghamba pada sang maha pemberi modal. Namun, di bawah naungan Pusat Studi Media dan Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia kami memilih terjun langsung dengan rencana konsep yang sifatnya jangka panjang.
Saya ingat minggu pertama saya dan teman-teman volunteer yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengajar hari itu, disambut hangat. Karena, waktu pelaksanaan SMILE diluar jadwal sekolah, saya pribadi bersyukur antusias anak-anak di sana tergambar dari jumlah siswa yang hadir dan keaktifan mereka. Ada lebih dari 20 siswa yang hadir saat itu. Bahkan peserta yang mengikuti kelas ini pun tidak hanya kelas 4 & 5 saja. Namun pun mereka siswa kelas 6 yang mengintip dari balik jendela pun ikut bergabung.
Hingga minggu kemarin, siswa yang hadir tidak lebih dari 10 orang. Bahkan jumlah volunteer lebih banyak dari pada peserta. Hal ini harus kami maklumi, karena jadwal yang kami buat ternyata bertepatan dengan jadwal mengaji kebanyakan mereka. Dan hari ini, jumlah siswa yang datang jauh lebih banyak dari hari-hari sebelumnya, bahkan hari dari hari pertama pun.
Hal ini pun menjadi semangat tersendiri bagi kami volunteer pengajar yang jumlahnya pun mulai menurun dari minggu-minggu sebelumnya. Hari ini, kami belajar bahasa inggris, belajar angka-angka dalam bahasa inggris, bermain kata dalam bahasa inggris, dan belajar melakukan hal lain selain menonton TV.
Dengan menumpang Katinting milik salah satu warga, kami pun tidak menyia-nyiaakan 1 jam 30 menit untuk belajar sambil bermain dengan adik-adik. Hingga tibalah di akhir pertemuan di minggu ini. Pertemuan kami tutup dengan bernyanyi. Dan satu per satu dari para peserta pun mulai keluar meninggalkan kelas. Namun beberapa dari mereka, berkerumun di sudut kelas sambil menyebut satu per satu nama teman-teman mereka yang hadir dan memberi tanda “titik” (pertanda hadir) di samping nama mereka serta tanda “a” sebagai penanda kalau yang bersangkutan tidak hadir. Saya pun menanyakan perihal tujuan dari pengisian daftar hadir yang mereka isi. Salah satu dari mereka pun menyahut bahwa ini adalah perintah dari guru mereka. Jadi secara tidak langsung, mereka telah mewajibkan murid-muridnya untuk berpartisipasi di SMILE ini.
Dari mulai proses perizinan hingga hari ini, saya belajar banyak hal dari SMILE. Salah satunya adalah belajar memaklumi kekuasan yang berbuah pemaksaan. Namun terlepas dari semua itu, tidak ada harapan yang paling bijaksana hari ini selain tumbuh dan berkembangnya keterampilan dalam berinteraksi secara layak dengan media di tengah-tengah mereka para siswa serta konsistensi tak berujung dari seluruh relawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H