Mohon tunggu...
Pena Biru
Pena Biru Mohon Tunggu... -

blueblack lovers. do everything what I want

Selanjutnya

Tutup

Catatan

[Story of July ☆ 2 ] Serpihan Mimpi

12 Juli 2011   14:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ajaran baru dimulai. Juli 2011. Dan itu artinya kegiatan sekolah, kegiatan belajar mengajar, dimulai. Dan cerita sebuah rumah yang sebelumnya sepi oleh penghuni , bagai hutan ditengah kota , kini kembali ramai, bagai pasar malam di tengah desa. Sebuah rumah yang dipenuhi dengan anak-anak kecil berusia anak sekolah kelas 1 hingga kelas 6 sd berkumpul di rumah itu setiap malamnya. Untuk belajar bersama. Kegiatan belajar dimulai pukul 18.30 dan berakhir pukul 20.00 . Setiap hari Senin hingga Kamis. Membuat rumah itu selalu ramai dengan teriakan dan gurauan anak-anak. Pasangan suami istri yang telah lanjut usia terlihat begitu menikmati keramaian kecil setiap harinya di rumah mereka itu. Mereka selalu menebar senyum setiap kali ada ulah dari anak-anak . dan terkadang mereka sedikit menaikan nada saat anak-anak kecil itu sulit untuk dikendalikan. Seperti halnya malam ini, "Apa yang kalian lakukan ?" suara wanita paruh bayah itu mengangetkan sekumpulan anak kecil yang bermain tongkat di dalam got. Membuat kerumunan itu berhamburan. Memasuki ruangan kelas belajar. Dan wanita paruh baya itu hanya dapat mengulum senyum melihat tingkah mereka, telah lama suasana seperti ini drindukannya. Suasana selama liburan sekolah yang membuat kegiatan belajar malam seperti ini tidak ada. Tiga puluh menit berlalu, suasana ruang belajar sepi. Anak-anak itu sedang disibukkan dengan mengerjakan soal-soal latihan. Dan wanita paruh baya terlihat sibuk dengan ponselnya . "Kamu bisa menggantikan Ibu mengajar mereka sebentar tidak, Mbak ? " Wanita paruh baya itu meminta putri sulungnya untuk menggantikannya mengajar sementara, karena ternyata ponselnya tadi memintanya untuk segera menuju suatu tempat. Selama kegiatan belajar dengan putri dari wanita paruh baya itu, tidak banyak senyum dan canda terpancar dari anak-anak kecil kelas 3 SD itu. Hanya diam . Sesekali anggukan dan gelengan diberikan oleh mereka. Hingga usai kegiatan belajar. "Ibu. Tadi dari mana ? Kok lama meninggalkan kelas belajar ?" Tanya anak paling bungsunya saat wanita paruh baya meletakkan gelas minumnya. "Ibu ada keperluan di kantor kelurahan." wanita itu memeluk anaknya, "Bagaimana tadi belajarnya dengan kakak ?" tanya wanita itu pada putra kecilnya yang diiringi jawaban panjang lebar dari putranya tentang ketidaknyamanan dia dan teman-temannya tadi saat belajar dengan kakaknya. Dia pun meminta agar kakaknya tidak lagi mengajar mereka. Karena mereka merasa tidak nyaman dan takut. Wanita paruh baya tersebut hanya tersenyum. Sementara putri sulungnya mendengar ucapan adiknya dari kamarnya, dengan perasaan hampa. Perasaan hampanya diiringi tatapan hampanya pada sebuah kertas kecil yang tertempel di dinding kamarnya. Bertulisakan "Lecture of  Algebra, University Sorbone" . Tulisan itu dulu dijadikannya semangat untuk meraih mimpinya sebagai seorang Dosen. Dosen untuk pelajaran yang sangat disenanginya. Dosen untuk perguruan tinggi impiannya. Dosen untuk negara idamannya. Dosen. Ya dosen adalah cita-citanya semenjak kecil. Namun , sepertinya waktu dan keadaan mengubah impiannya. Mengubur jauh-jauh impiannya untuk menjadi tenaga pendidik. Jangan penah tanya bagaimana sakitnya  perasaannya untuk menghilangkan semua mimpinya itu. Jangan ditanya bagaimana lelahnya dia untuk mengubah mimpinya. Semua itu hanya dapat membuatnya menangis dalam diam. Keadaan dan waktu telah berbicara lain. Meski kini ada hal lain yang ia impikan namun keinginannya untuk menjadi dosen / guru besar masih ada dibelahan hatinya yang lain. Hanya waktu yang mampu membuktikan seperti apa dirinya nanti. Sementara saat ini entah kenapa dia begtu membenci dunia mengajar. Ah. mungkin tidak membenci, hanya tidak menyukai. Dan hal ini telah diketahui ibu-nya, wanita paruh baya itu.  Wanita yang dulu sangat mendukung keinganan putrinya untuk menjadi tenaga pendidik seperti dirinya, kini harus dapat memahami keinginan lain putrinya. "Maafkan aku, Ibu" lirih gadis itu sambil merobek kertas kecil di dindingnya dan meremasnya. Menjadi serpihan  seperti serpihan hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun