Hidup mungkin bisa berubah, kata penggali makam.
Ternyata ada senyum dari balik peti kematian, keceriaan dan kebahagian nyata: kepulangan adalah suatu kewajiban.
Tubuhnya tertutup peti, sunyi tak ada suara seperti malam tanpa purnama, setelah hujan.
Kepulangan, ia sering berada di waktu yang tak terjangkau.
Kepulangan, tak bisa dielakkan setelah maut menjemput.
Kepulangan telah berlalu, duka pada tetesan-tetesan airmata terjatuh, tanpa aba-aba tak terduga menyuruh orang berdoa.
Kami adalah tanah, dan akan kembali ke tanah.
Tak ada yang bisa menghentikan kepulangan, kecuali Rab yang maha egois.
Hidup mungkin bisa berubah, namun tidak pada sebuah kepulangan.
Ia seperti senja yang di panggil pulang oleh tuannya.
Tubuhnya terkubur dalam tanah: “Tak ada lagi yang dapat melihat, selain penghayatan di sebuah tempat yang bernama nisan. Tanpa melihat masalalu.”
Kepulangan telah meninggalkan kesedihan, beberapa detik yang lalu.
Rindu menumpuk di situ.
Lalu, setiap kenangan yang lewat seolah seperti kenyataan.
Prihal waktu, kepulangan adalah suatu kewajiban.
Sebagian menangis di kesunyian, mengikhlaskan kepergian dengan kesedihan.
Berita mulai meluas, dan akhirnya sebuah puisi dibaca melalui kecemasan.
Surabaya, setelah subuh. 27/11/2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H