Mohon tunggu...
Dwi Dian Wigati
Dwi Dian Wigati Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa pegiat literasi

Hidup Sekali Jadilah Yang Bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangan Berharap, Sambal Mercon

19 Juni 2020   05:28 Diperbarui: 19 Juni 2020   05:34 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kring...kring...kring...tanda pesan masuk dari handphoneku. Saat menjelang tidur dapat informasi dari teman-teman mengenai voucher makan gratis. Akhirnya aku penasaran dan memastikan kebenaran informasinya. Karena makan gratis adalah idaman para mahasiswa ketika tidak punya uang di akhir bulan seperti ini.  Aku tergiur dengan nikmatnya makanan. Karena hanya dengan DM di Instagram, bilang ingin makan gratis sama adminnya langsung dikirim pamflet untuk buat story instagram, setelah itu kita dapat balasan voucher. 

Aku bahagia. Lantas aku mengajak teman- teman untuk ikut. Empat temanku tertarik. Mereka adalah Ita, Sofi, Rahma dan Anti. Namun, kita memutuskan untuk tidak berangkat bersama. Karena aku akan menyelesaikan keperluan dulu. Semua teman- temanku tanya "Wi, sudah dapat voucher makan", tanya ita dengan bahagia. "sudah sepertinya ta, yang ini kan?" tanyaku dengan rasa bahagia dan penasaran. Ita langsung tersontak kaget. Karena bukan itu yang seharusnya ku dapat. "loh. bukan itu wi. Nanti kamu akan dapat gambar seperti punyaku". jelasnya panjang lebar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, tak terasa adzan maghrib sudah berkumandang. Akhirnya kami putuskan untuk sholat dahulu. Karena minimnya waktu yang tersedia. Kita mencari- cari masjid terdekat dengan jalan kaki sambil tanya tukang parkir dan berbondong- bondong ke sana. Sungguh bahagia suasana masjid yang ramai dengan para jama'ah. Sebagian besar dari mereka anak kecil sekitar usia 3 tahunan yang bertempat tinggal di perkampungan dekat masjid. Adapun yang separuh baya dan tua hanya beberapa. Dengan semangat dan antusias, semua mengikuti jama'ah dengan khusuk hingga akhir do'a. Lalu berjabat tangan sesama jama'ah, mulai dari yang kecil, dewasa hingga tua.

Aku, Ita dan Sofi kembali ke tempat yang kami tuju, sego sambel sarumpet yang bertempat di daerah Tidar. Warung makan baru yang terkenal dengan menu mercon. Semua yang disajikan benar- benar pedas yang luar biasa. Seperti sego sambel mercon udang, sego sambel mercon kulit sapi, dan lain- lain. 

Dalam perjalanan, aku mengingat tentang gratisan makan, ku putuskan untuk melihat instagramku kembali. Berharap dikirim voucher makan gratis karena berkahnya sholat. Namun semua diluar dugaan. Pesan  instagramku tetap seperti semula tanpa balasan sepatah katapun. Akhirnya, aku sadar "Hidup itu seperti matematika, kita harus selalu memberi bukan meminta. Karena tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Bagaimanapun, berapapun harganya aku harus tetap membeli. Sebab rugi, jika jauh- jauh dari perantauan tetapi tidak jadi beli makan.

Saat berbalik badan, aku terkejut, dua temanku sudah selesai makan, Rahma dan Anti. Wajah merah menghiasi mereka. Lauk yang tadinya membuat lidahku tergiur, akhirnya membuatku takut untuk mencoba. Namun, aku terus memberanikan diri. Makan sego sambel cumi mercon dengan minum segelas es teh. Ita hanya memesan segelas es jeruk karena dia tidak suka pedas. 

Sedangkan sofi memesan ayam goreng dan segelas es teh. Kami mencoba menikmati. Hanya sesuap mulut, telinga, kepala dan perut mulai panas. Panas yang sebelumnya belum pernah ku rasakan, meski aku suka pedas sejak kecil. Karena bagiku tanpa pedas rasa makanan semua terasa hambar. Namun, tidak untuk sekarang. Semua berbanding terbalik. Aku seperti kucing kebingungan, mondar- mandir ke kamar mandi dan menghabiskan tisu yang disediakan. Aku tak peduli orang berkata apa. Terpenting bagiku, rasa panas dan pedas harus hilang seketika. 

Tak lama kemudian, adzan isya' berkumandang, tanda kita harus beranjak pulang. Selama perjalanan, aku memutuskan untuk membeli yakult dan promag. Berharap bisa meredakan panas dalam perutku. Ketika sampai tempat perantauan aku berbagi cerita pada kawan. Bukannya memberi saran, mereka malah kesal padaku. Karena apa yang aku perbuat malah menyakiti diriku sendiri, dari makan sambel yang super duper pedesnya sampai salah beli obat. Seharusnya membeli susu, tetapi aku malah membeli yakult. 

Beberapa menit kemudian, rasa sakitku tidak berkurang, namun kontraksi dalam perut lebih parah. Akhirnya akupun minum obat promag. "tentunya, rasa sakitnya nanti berkurang", batinku penuh harap.

Pagi hari yang dingin, saat bersua dengan sajadah suci. Tiba- tiba rasa perut yang begitu sakit dan lanjut sampai tiga hari setelahnya. Aku benar- benar jera dan tidak ingin mengulangnya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun