Mohon tunggu...
Humaniora

Ibu, Darimana Aku Berasal?

4 Januari 2017   00:06 Diperbarui: 4 Januari 2017   00:42 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ungkapan cinta untukku dari seorang ibu. Yang telah melahirkanku, membesarkanku. Hingga aku menjadi seperti ini. Ibu yang menyangiku tanpa ada ragu. Suatu kata yang ikin ku ungkapkan untuk ibuku "Aku menyangimu slalu ibu, terimakasih ibu"

Dalam keheningan malam, di saat ketenangan mendominasi suasana, merupakan waktu yang tepat bagi seorang ibu untuk merefleksikan dirinya. Ibu yang menyangiku dan berharap dariku, aku pun akan slalu menyayangi ibu dan memberikan yang terbaik teruntuk ibu. Do'a yang slalu ku panjatkan mungkin tak bisa mengganti semua yg telah ibu berikan padaku. Namun setidaknya aku berusaha untuk ibu.

Di kala kecil aku slalu merengek pada ibu. Aku yaang usil, aku yang jail, slalu minta ini minta itu. Tak sedikitpun aku berhenti untuk meminta pada ibu. Tak pernah terpikir dalam benakku, bahwa saat itu ibu sedang menahan amarahnya padaku.  Ternyata waktu dan kesabaran ibu saat menjalankan peran sebagai orang tua memberikan kontribusi yang besar untuk hasil yang terbaik bagi sikap kita kedepannya. Orangtuaku slalu berfikir "jika harapan kita cukup tinggi dan berada di atas kemampuan anak, kita bisa menjadi ibu yang bermasalah, namun jika kita bisa sedikit mengalah sedikit dan menetapkan standar yang wajar untuk buah hati kita, maka kita akan menikmati kebahagiaan". Itulah yang slalu ibu ucapkan kepadaku setelah aku dewasa ini. Karna kelak aku akan menjadi seorang ibu juga. Yang jelas, selama niat kita baik, maka kasih sayang Allah akan tercurah pada kita.

Ketika kita kecil, kita di kelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui pikiran kita. Namun sudah menjadi hal yang wajar bagi anak usia dini. Apalagi begitu banyak asupan-asupan yang masuk di telinga kita. Sehingga membuat kita ingin slalu bertanya. Mengapa dan mengapa. Namun memberikan jawaban pada anak tak mudah seperti yang dibayangkan. Mungkin jika yang bertanya adalah orang dewasa, jawaban bisa lebih mudah dengan memberikan teori.

Seorang anak biasanya tidak mudah puas dengan jawaban yang telah kita berikan. Mereka pasti akan meneliti kebenaran dari pernyataan kita. Sewaktu itu aku pernah bertanya pada ibuku, "ibu, dari mana kita berasal?" Timbul sebuah perdebatan antara aku dan ibuku. Ibuku yang berusaha menjawab pertanyaanku dan mengontrol emosinya. Agar aku tidak salah asupan, ibuku termenunganbmencari strategi yang cukup efektif agar menang dari perdebatan kita. Saat itu aku merasa, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan tanpa batas yang aku lontarkan pada ibuku. Dan saat ini aku tak berani lagi menanyakan hal yang tak masuk akal itu.

Begitu beratnya berperan menjadi seorang ibu, perlu di bekali dengan kecerdasan spiritual, emosi, dan intelektual yang matang. Namun aku yakin, Allah tak akan salah hitung dengan perjuangan dan pengorbanan ibu yang demikian besar. Saat fisik lelah dan emosi labil, terkadang orang tua akan terhentak untuk memarahi anak. Pada dasarnya sikap orangtua yang menetapkan segala sesuatu peraturan dan menghukum anak itu tidaklah baik untuk psikis anak.

Anak memiliki caranya sendiri dalam melihat, memikirkan, dan merasakn sesuatu. Biarkan dia tahu sesuatu karena dia telah mempelajarinya sendiri. Jika kita memberikan otoritas kita dalam menyampaikan sesuatu, dia akan menghentikan kemampuan nalarnya dalam hal itu. Dia hanya akan menjadi "permainan" bagi pemikiran orang lain. Anak memiliki keterbatasan dalam memahami dan peraturan yang abstrak, namun mereka tidak suka di hukum saat melanggar aturan yang sulit mereka ingat.

Anak-anak adalah pribadi yang unik. Di seluruh dunia tidak ada anak yang persis seperti ibunya. Aku jadi teringat sebuah kutipan "in the millions of years that have pased, there has never been a child like you" (kutipan Pablo Casals). Dengan pemahaman orang tua terhadap salah satu karekteristik anak yang khas ini, semoga dapat dijadikan motivasi untuk terus mengenali lebih dalam tentang pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.

Ingin rasanya memberi cinta tanpa batas dan tanpa syarat, dimana kita mencintai ibu bukan karena dia yang telah melahirkan, bukan karena dia yang telah membesarkanku, bukan karena kekayaannya, akan tetapi karena dia adalah Syurga Ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun