Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkades, Menguji Rasionalitas Masyarakat Akar Rumput

22 Desember 2019   18:24 Diperbarui: 22 Desember 2019   18:53 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      

Ada yang menarik dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun ini. Sebuah desa di Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa memenangkan seorang kepala desa beragama Non-Kristen. Desa itu sendiri didominasi masyarakat beragama Kristen. Dilihat dari kacamata demokrasi yang ideal, tentu tidak ada yang istimewa. Ia menjadi istimewa karena terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang mudah terpolarisasi dan cenderung sentimental.

Sebelumnya, pada tanggal 5 Desember 2019, sebanyak 105 Desa di Kabupaten Tobasa sukses menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Di antara ratusan desa tersebut, tidak banyak yang konstelasi politiknya seperti di Desa Simatibung. Sangat jarang ditemukan seorang calon kepala desa berbeda keyakinan dengan sebagian besar masyarakat desa yang bersangkutan. Itulah mengapa situasi demikian selalu menjadi diskursus politik yang menarik. Sekalipun terjadi di kalangan masyarakat akar rumput (Grass Roots Society), dalam hal ini masyarakat desa.

Rasionalitas masyarakat diuji

Keadaan yang tidak kondusif sempat terjadi di Desa Simatibung. Pasca calon kepala desa yang beragama Non-Kristen tersebut mendeklarasikan diri, sempat muncul desas - desus di tengah masyarakat. "Desa yang hampir seluruh penduduknya beragama Kristen, haruskah dipimpin oleh kepala desa Non-Kristen ?" Kurang lebih seperti itulah respon masyarakat untuk pertama kalinya. Dari respon awal tersebut, dapat diketahui bahwa sentimen agama tidak serta merta hilang dalam Pilkades ini.

Hal menarik terjadi tatkala masyarakat mulai menimbang - nimbang sosok si calon kepala desa (kades) secara rasional. Di satu sisi, masyarakat mengetahui secara jelas bahwa si calon kades adalah seorang yang berkompeten.

Sementara di lain sisi, masih sulit bagi masyarakat desa untuk mengesampingkan sentimen agama. Dilema inilah yang kemudian menghadapkan masyarakat pada pilihan; menjadi rasional ataukah bertahan sebagai masyarakat yang sentimental.

Dengan kemenangan calon kades yang berlainan keyakinan tersebut, nampaknya masyarakat telah memilih untuk mengesampingkan sentimentalitas, dan mengedepankan rasionalitas. Sebuah keputusan yang berani dan layak diapresiasi.

Realita yang berbeda

Dalam konteks perpolitikan, realita yang ada dalam masyarakat di level akar rumput (grass roots) memang acapkali berbeda dengan realita yang ada di level regional maupun nasional.

Perbedaan yang mencolok ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Contohnya, perbedaan kepentingan antara masyarakat akar rumput dengan masyarakat yang ada di level yang lebih tinggi.

Perbedaan kepentingan ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perbedaan keadaan etnografi, letak geografis, dan sebagainya. Wilayah Indonesia yang terbentang begitu luas dari Sabang hingga Merauke memungkinkan hal semacam ini bisa terjadi.

Contoh berikutnya adalah narasi yang dibangun oleh media. No Bad News, No News. Sebuah ungkapan dalam jurnalisme yang mendorong media untuk selalu mencari berita "buruk" untuk diberitakan.

Ungkapan ini juga memaksa setiap jurnalis untuk menulis berita dengan gaya penulisan yang provokatif. Bahkan judul pun harus provokatif dan merangsang orang untuk membaca.

Pemberitaan seperti ini turut menciptakan disparitas realita politik di level akar rumput dan level nasional. Tidak jarang narasi yang dilemparkan oleh media adalah narasi yang telah digeneralisasi. Bukan narasi yang kontekstual. Hal ini kerap membuat orang - orang menyamaratakan situasi politik di level nasional dengan situasi politik di level akar rumput.               

Kenyataan - kenyataan seperti yang terjadi di Desa Simatibung merupakan penegasan dari disparitas politik nasional dengan politik di level akar rumput. Di panggung perpolitikan nasional, kita akan menjumpai orang - orang dengan mudahnya memainkan isu - isu sentimental.

Sedangkan di sebuah desa bernama Simatibung, masyarakat justru memutuskan untuk mengubur dalam - dalam sentimentalitas dan memilih jalan rasionalitas.

Hal ini juga menandakan bahwa rasionalitas masyarakat akar rumput masih cukup kuat untuk membendung masuknya isu - isu sentimental sebagaimana terjadi di level nasional.   

Harus jadi pembelajaran

Situasi sebagaimana terjadi di Desa Simatibung sudah selayaknya menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat. Masyarakat Desa Simatibung yang mengedepankan rasionalitas adalah teladan bagi banyak pihak. Masyarakat Desa Simatibung yang mengesampingkan sentimentalitas merupakan secercah harapan bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik di negeri ini.

Almarhum Gus Dur pernah mengatakan; "Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu".

Perkataan Gus Dur ini seolah mendapatkan kembali roh serta maknanya dalam sikap dan tindakan yang diambil oleh masyarakat Simatibung. Sikap serta tindakan tersebut juga sekaligus menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya belum kehilangan sisi humanismenya.

Masih ada harapan di pelosok - pelosok negeri. Harapan yang seharusnya dilihat lebih jernih oleh penguasa yang lebih tinggi. Harapan yang seharusnya menjadi cermin introspeksi diri.

Sehingga politik tak lagi menjadi sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Tak lagi menjadi instrumen penguasa untuk melakukan eksploitasi dan penindasan. Sebaliknya, politik benar - benar menjadi alat untuk mencapai keadilan serta kesejahteraan masyarakat.

Sekali lagi, jejak rasionalitas yang ditinggalkan oleh masyarakat Desa Simatibung dalam Pilkades 2019 adalah jejak yang selayaknya diikuti oleh semua orang. Terlebih mereka yang masih mudah terpancing oleh isu - isu sentimental. Sikap rasional yang ditunjukkan oleh masyarakat Simatibung merupakan preseden baik bagi kehidupan politik di Indonesia yang demokratis. Masyarakat Desa Simatibung telah menjadi dirinya sendiri dengan menjadi manusia -- manusia rasional.

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengutip filsuf Jerman, Karl Jaspers dalam Philosophy Volume II. "Without rationality, I can not become myself". Tanpa rasionalitas, aku tidak dapat menjadi diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun