Masyarakat kian terpolarisasi, fanatisme politik pun telah mereduksi esensi kritik dan membunuh rasionalitas. Perhelatan Pemilu sudah berlalu. Presiden dan Wakil Presiden terpilih sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum.Â
Namun, masih segar dalam ingatan peristiwa - peristiwa yang secara gamblang menunjukkan betapa masyarakat telah terpolarisasi dan terdikotomikan akibat pandangan dan pilihan politik yang berbeda di tengah masyarakat.Â
Terdikotomikannya masyarakat akibat pandangan serta pilihan politik yang berbeda seyogianya bukanlah merupakan hal yang serta merta negatif. Pandangan politik yang berbeda tersebut seharusnya bisa melahirkan beragam gagasan yang berbeda namun tetap bermuara pada kemajuan dan pertumbuhan negara, serta mendewasakan semua pihak dalam berdemokrasi.Â
Perbedaan pandangan politik dalam konteks demokrasi yang sehat seharusnya bisa melahirkan pemerintah yang baik dan juga diimbangi oleh oposisi yang beroposisi dengan baik pula. Baik pihak pemerintah maupun pihak oposisi sama - sama membangun negara ke arah yang lebih baik. Dikotomi tersebut menjadi tidak baik manakala yang diciptakannya adalah pemerintah yang otoriter dan oposisi yang anarkis.Â
Dikotomi tersebut juga menjadi sangat tidak sehat ketika yang dihasilkannya adalah masyarakat yang terpecah belah dan mengubur dalam - dalam rasionalitasnya demi mendukung para pemimpin pilihan mereka secara total dan loyal.Â
Loyalitas dan totalitas inilah yang kemudian bertransformasi menjadi fanatisme yang pada akhirnya mengesampingkan pikiran rasional. Dalam konteks seperti disebutkan diatas, masyarakat yang mendukung rezim pemerintahan sah yang sedang berjalan cenderung mengiyakan dan mengaminkan semua kebijakan -- kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut secara mutlak dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat sekalipun realita berkata lain.Â
Masyarakat pendukung fanatik pemerintah ini seolah menutup mata terhadap kelemahan -- kelemahan pemerintah. Bahkan, secara ekstrem, dapat dikatakan bahwa masyarakat bisa melihat kelemahan tersebut sebagai kelebihan dan kekuatan pemerintah.Â
Apa pun kebijakan pemerintah, apa pun yang dikatakan oleh pemerintah, dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat pro-pemerintah. Secara berkelakar, beberapa orang mengatakan bahwa; pemerintah bernafas saja, dianggap benar oleh mereka yang mendukung pemerintah secara berlebihan.
Di lain pihak, ada masyarakat kontra-pemerintah atau oposisi yang merupakan kebalikan dari masyarakat pro-pemerintah. Jika yang pro-pemerintah menutup mata terhadap kelemahan -- kelemahan pemerintah, maka yang kontra-pemerintah adalah pihak yang menutup mata terhadap kebaikan -- kebaikan pemerintah.Â
Segala kebijakan pemerintah, apa pun yang dikatakan oleh pemerintah, oleh masyarakat yang kontra-pemerintah dianggap sebagai sebuah kebohongan, kedzaliman, dan tipu daya pemerintah kepada masyarakat. Hal ini menandakan bahwa obyektivitas masyarakat yang terbagi menjadi dua kubu itu telah tergantikan dengan subjektivitas.Â