Mohon tunggu...
Anhar Dana Putra
Anhar Dana Putra Mohon Tunggu... -

a diver who only deal with the deepest ocean ever, named heart

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Supir Angkot dan Proklamasi

17 Agustus 2012   19:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_207396" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Romana Tari)"][/caption]

Pernah suatu hari di bulan ramadhan, aku terjebak kemacetan yang lumayan panjang gara-gara ada angkot yang ngetem nunggu penumpang sampai angkotnya penuh. Karena penasaran sama muka supir angkot itu, aku turun dari mobil teman yang kutumpangi, kemudian mendekatinya. Selagi berjalan, aku sadar ternyata aku bukan satu-satunya orang yang penasaran. Di depanku ada seorang bapak yang sepertinya kelihatan sedang menahan emosi yang begitu kuat, bersiap meluap.

Semakin dekat bapak itu dengan supir angkot tadi, mukanya semakin memerah, aku jadi ikut tegang, "ini menarik, sebentar lagi ada perang" ujarku dalam hati. Langkahku berhenti bersamaan dengan berbaliknya bapak itu sambil tersenyum, saya shock!!. Ada apa ini? kenapa tiba-tiba semuanya berbalik? bukannya tadi ia begitu emosi? Bagaimana mungkin ia bisa mengalami perubahan orientasi-dekadensi emosi secepat itu?? pertanyaan-pertanyaan ini pun seketika melesat cepat dan berulang-ulang di track-track saraf otakku, menyisakan kebingungan tak berjawab. Atau barangkali supir angkot itu punya semacam ilmu menangkal amarah seorang bapak-bapak? "akh, tidak mungkin" rasioku menepis, satu-satunya pertanyaan yang bisa kujawab. Mustahil, karena si bapak tadi sudah berdiri tepat di belakang supir angkot itu. Posisi yang sangat tepat untuk memaki menurut saya. sekarang posisinya berada tepat di depanku, benar-benar berbalik, mudah-mudahan ia tidak memilih aku sebagai reboundnya. Tapi itu tidak mungkin, ia tersenyum, seperti barusaja menang pemilu, atau nemu uang seribu. Aku mematung, pada saat ia menepuk pundakku. Kelihatannya ia sadar bahwa ia telah membuatku kebingungan karena tidak jadi memarahi supir angkot tadi. "Mau marah juga nak?" ia memulai percakapan, masih ditengah kemacetan yang mencekik karena terik. Aku diam, mengangguk sudah cukup, dan ia melanjutkan " Bapak juga mau marah tadi, mau sekali sampai-sampai mau membuatnya malu di depan orang-orang... Tapi setelah melihat wajahnya dari dekat, emosi bapak reda seketika, bapak tiba-tiba melihat derita yang bapak alami tercermin padanya, malah jauh lebih besar" . Ia menarik nafas, panjang, dihela, dan melanjutkan lagi. " Bapak seperti ada yang menyadarkan, bahwa supir angkot itu, terlalu keruh kepalanya untuk sekedar memikirkan ketertiban lalu lintas, ia butuh penghidupan" Aku hanya bisa diam, bapak itu trus mengoceh, " Kemacetan ini, bukan lah di sebabkan olehnya nak, supir itu justru adalah akibat!" , dan kebingunganku bertambah intensitasnya. "Ya! akibat dari sebuah kemiskinan struktural! supir angkot itu adalah remah-remah dari sebuah kebobrokan sistemik yang mengakar pada tubuh bangsa kita" tukasnya merespon kernyitan dahiku. "Kita semua bersaudara, jangan menyakiti sesama saudara, supir itu akibat bukan penyebab, bukan dia yang layak dihakimi, kita semua tahu bahwa kita sama-sama menderita" , orasi terakhirnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku yang hanya bisa berdiri terenyuh tak bergerak, menjilati bulir keringat yang menjalar dari dahiku, mencoba mencerna semua mutiara-mutiara itu. TEEEEEEETTT!! bunyi klakson membuyarkan kontemplasi singkat nan dalam yang tanpa sadar kulakukan di tengah kemacetan yang berangsur-angsur pulih. tak ada pilihan selain kembali ke mobil yang tadi kutumpangi, sambil mencoba merenungi sekali lagi. Tidak lebih dari satu detik aku bersandar, cuplikan-cuplikan peristiwa tiba-tiba muncul tak beraturan dalam kepalaku, otakku mencoba menarik sebuah konklusi sederhana atas kejadian tadi. Tapi tetap tidak ada konklusi, labirinnya terlalu rumit, yang ada hanya sensasi rasa bersalah, menyesal dan kecewa, entah bagaimana bisa itu muncul dan terasa. Mungkin karena besok bangsaku akan mengulang proklamasi, meskipun betul-betul hanya akan mengulang proklamasi. Kita merasa merdeka, tapi tanpa sadar masih jauh dari merdeka. Kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kebobrokan moral, kesewenang-wenangan, eksploitasi alam, anak dan perempuan, masih mengakar begitu kuatnya. Kita terlalu sering saling menyakiti antar sesama orang-orang yang tersakiti, tanpa pernah mau membuka mata pada kenyataan bahwa ada bedebah-bedebah yang memang sengaja menyakiti kita, ada juga para hipokrit yang mulutnya disumpal emas hingga tak mampu lagi bersuara. Kurasa lebih baik memproklamirkan penderitaan yang terbuka, ketimbang memproklamirkan kemerdekaan yang pura-pura! Nada-nada protes itu terus membahana di kepalaku saat perjalanan pulang, sampai akhirnya amblas oleh bunyi bedug maghrib yang jauh lebih kencang. Satu hari dengan sebuah pengalaman esensial akhirnya tamat disertai dinginnya kucuran es buah mengalir di tenggorokan. "Alhamdulillah" Entah, apa ini layak disyukuri. Anhar Dana Putra Barru, Kamis, 16 Agustus 2012, besok ada upacara bendera di lapangan.

bisa juga di liat di sini http://anhardanaputra.tumblr.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun