Ia datang meminta bantuan lagi. Berkalung untaian resah ia menemuinya. Seperti biasa, hanya nafas berat dan kepenatan yang meliputi langkahnya yang juga berat. Tak ada tempat lain lagi. Tak ada.
Ia baru saja mengalami bosan kesekian kali pada ritual menulis, yang berarti menuangkan keluh kesah di atas datarnya kertas.
Senyum penyambutan tak pernah lagi diharapkannya. Ia sudah belajar tentang sakitnya mengharapkan sesuatu yang hampir mustahil. Dan kelihatannya belajarnya membuahkan hasil. Ia sudah terbiasa untuk tak berharap tiap kali datang. Tujuannya datang tak perlu dikembangkan, salah satunya untuk senyum penyambutan itu. Senyum penyambutan beku saja dalam ekspresi datar. Ia hanya ingin mendapat sebutir pelipur lara.
Dia, orang yang ia datangi, dukan psikolog atau konsultan. Dia orang yang baik pada semua orang. Mungkin dia lain sendiri di antara seribu orang. Dan pasti dia mau memberi butir pelipur lara. Bukan, bukan ekstasi atau obat terlarang jenis lain. Butir pelipur lara itu serupa mutiara berkilauan yang bisa mengendapkan, memecah dan mengenyahkan lara dengan cara kerja menakjubkan. Ia yakin takjubnya tak pernah berkurang. Ia tetap berbinar-binar mendapati asanya terpancar lagi. Ia rasakan koloid lara yang berasal dari larutan sejati lara berangsur menjadi campuran lara hingga dapat ia pilah-pilah lukanya dan ia tata kembali hatinya.
Malam masih tanpa bintang seperti yang lalu-lalu, ketika permintaan bantuan semakin gencar. Setidaknya dia akan bisa menatap si bintang cantik di samping fokus pada ia yang rasa-rasanya kian membosankan untuk diihat. Ia tak begitu ingin dia fokus padanya. Ia hanya ingin dia menangkap kata-kata inti yang ia ungkapkan.
Dia sudah ada di sampingnya. Dulu dia memegang bahunya tiap pertama bertemu sambil mengajak duduk, pertanda dia metransfer semangatnya. Tapi malam itu dia tak melakukannya. Senyum yang lebih tipis lagi daripada yang ia pernah lihat, dia berikan malam itu. Itu tentu bukan senyum penyambutan, melainkan senyum umum sekadar buat memenuhi tuntutan keumuman. Sesuai dugaan, ia telah sangat ia buat bosan.
“Apa semangatmu pudar lagi? Luntur? Sudah aku katakan, kau jangan seperti baju baru...”
“Aku bukan baju baru. Ini semua gara-gara mereka. Mereka keroyokan dan aku sendirian menerima ketidakramahan.”
“Makanya kau jangan menerima semata. Kau menerima sekaligus membuat tangkalan, dengan asamu. Dan belajarlah untuk tidak terus menyalahkan mereka. ”
“Maksudmu, mereka tak salah?”
“Lepas dari mereka salah atau tidak, kau harus mulai sibuk menata dirimu. Jangan terus sibuk melabeli mereka salah. Kau tahu maksudku?”
“Iya.”
“Apa sekarang kau tahu harus apa?”
“Tahu.”
“Bagus. Semoga semuanya lancar.”
“Terimakasih.”
Ia dan dia menatap langit yang hitam polos. Andai ada kerlipan tampak, pasti indah, dan mereka bisa menikmatinya sebagai dua orang teman. Ia memang merasa dia adalah teman sejati, lantaran ada kenyamanan saat berbincang. Ia temukan wadah cekung untuk keluh kesahnya, bukan lagi kertas yang datar. Sepertinya dia juga tak kelewat bosan seperti permulaan. Dia menatap ia dengan senyum ramah.
***
Ia lalu lalang dan datang silih berganti, berharap menemukan kenyamanan. Ia selalu enteng menggenggam harap di tengah ayunan berat langkahnya, sambil mencari aroma keramahan yang tak cuma mengundang tapi juga menerimanya. Ia akan singgah di tempat asal meruapnya aroma keramahan, beristirahat, mungkin juga sedikit bernyanyi. Dan menghabiskan waktu sejam yang tenang atau waktu setahun yang hiruk pikuk penuh ketidakpedulian. Ia sungguh tak kerasan dengan pilihan kedua.
Sudah berulang kali ia ditolak. Memang tak lebih kejam daripada pengusiran, namun tak juga membuat perih lukanya terelakkan. Sebuah penolakan yang begitu halus tak mungkin membuatnya marah. Tak ada serangkaian kata kasar yang siap menusuk-nusuk, kilatan mata tajam tanda tak suka atau acungan tepat ke dada yang lalu berputar ke arah tak tentu sebagai isyarat menyuruh pergi dalam penolakan yang ia alami. Lalu ada kediaman, yang tak lain adalah pertunjukan cuek spektakuler diikuti pameran penerimaan atas yang lain, sambil ditunjukkan penataan langkah menghindar satu-satu.
Kalau ia sudah tak melihat siapa-siapa lagi, biasanya ia menunduk. Perolehan sakit hatinya bertambah satu. Tanpa bisa berteriak, kadang ia mencoba mencetak senyum buat menghibur diri. Adonan kue yang didiamkan akan mengembang, tapi si malang yang didiamkan akan menyusut semangatnya, rasa memiliki artinya. Ia berpikir seperti itu. Perbandingan yang tak terlalu jelek, dan mampu menyibukkan otaknya selagi sakit hati menguasai. Meski bisa dikatakan bukan pengusiran, tapi tetap saja memukulnya. Meski bukan termasuk penolakan terang-terangan, tapi bukan berarti efek yang muncul mengikuti jejak malam : datang sebagai samar. Sakitnya begitu jelas dan menderanya dengan cepat.
Apakah ia pantas mengklaim sakit hatinya karena mereka? Ia tinggal melihat ke bilik kenyataan untuk mencari jawaban. Kelihatannya klaim-klaim salah malah sudah diletakkan pada sosoknya. Dalam ingar bingar, ia benar makin jatuh. Ia pantas mengklaim dan mereka pun bebas mengklaim dan bebas yang kompak jadi dominan.
Semua memang sudah tersemai. Segala impian yang menggantung di tinggi awan, benih senyuman dan benih beragam yang ia harapkan daun-daun pertamanya tumbuh semengagumkan benih unggulan. Meski tertangani tanpa kekuatan berarti dan sentuhan karena gelora semangat, tapi semaiannya harus jadi. Dan benar, sudah tumbuh sempurna. Senyum puas menghiasiwajahnya yang diterpa cahaya mentari dan membuatnya lebih percaya pada diri dan hidupnya.
Musim berganti-ganti. Ia mengkhawatirkan semaiannya. Takut pancaroba mengacau pertumbuhan, was-was angin kencang memporak-poranda semaian yang tak cukup terlindung dan cemas hama-hama menyerang. Ia mengkhawatirkan itu sendirian.
“Apa pendapatmu tentang aku?”
“Wajahmu bukan wajah intelek dan aku cukup bsan jika terus memandangi wajahmu.”
Ia selalu teringat sebuah fragmen dalam harinya itu. Fragmen yang wara-wiri mampir ke ingatan, yang unforgetable! Ia ingat saat telinganya tergelitik, saat ia tercengang, sampai ia memutuskan untuk tak sedikit pun menaruh komentar. Ia pergi, juga membiarkan temannya itu pergi.
Bila ia menatap ke depan, ia temukan lika-liku lengkap dengan cadas. Ia pernah sangat yakin bisa menelusurinya sampai habis dan bisa suksese melindas cadas. Sampai kini ia pun yakin akan itu. Apalagi teman yang ia anggap sejati, dia, mendukung keyakinannya jadi, ia tak harus berkutat pada satu kesedihan dan terpaku saja menatap punggung-punggung di depannya sementara ia malah hanya belajar perspektif pandang. Ia mesti mendalami...karakter.
***
Dia bernama Manah. Dia terbaik baginya. Hanya dia yang bersedia menerimanya. Manah lain sendiri di antara seribu orang mungkin. Manah tak pernah mempermasalahkan kehadirannya. Tak pernah menata langkah menghindar satu-satu. Manah adalah pemberi yang baik.
Baginya, mengenal Manah adalah kebahagiaan, serupa kebahagiaan di tahun-tahun waktu ia kecil. Seperti saat ia mendapat kado rindu dari ayahnya. Ayah menggendongnya tinggi-tinggi, menghadiahinya jepitan rambut mungil yang terbungkus uang kertas. Cara ayah menyayanginya begitu membuatnya terkesan dan terkenang.
Manah ada di sampingnya dan selalu mau menilik ke bilik hatinya. Mau mendengar dan melihatnya, juga mau meraba suka-dukanya. Dan Manah mengerti bahwa ia tak pernah tahan dengan pengasingan.
Manah berkata bahwa memiliki rasa berarti itu penting. Jaim itu penting, dan menjadi orang penting itu juga penting. “Memangnya kamu mau menjadi orang yang tak penting? Apa kau mau dilupakan?”
“Tentu saja tidak. Aku kira kamu ngomongin jabatan, gitu...”
Manah mengulas senyum yang amat tipis.
Ia heran melihat pandangan Manah yang lari-lari, menerawang jauh. Kata-kata Manah singkat, terkadang ketus. Apa ia membuat Manah bosan? Iya, Manah bosan. Bosan menatap ia. Betapa ironisnya! Ia antusias sekali bicara dengan Manah tapi Manah bosan.
Pada akhirnya matanya ikut menerawang jauh. Mungkin kehampaan di depan itu bisa membuatnya sedikit terkesima. Semuanya sudah tak semenarik permulaan. Haruskah ia minta maaf pada Manah atas segala kebosanan?
Ia beranikan diri menatap wajah Manah yang teduh berkarakter. Ia marah atas karakternya sendiri yang kurang memihaknya. Perasaannya lebih mudah terlukiskan sebagai rumput kering dari mata air.
***
Sering, ia, Ati, begitu pulang langsung menghadap ke cermin. Mungkin ada yang salah dengan gurat wajahnya, sampai-sampai keramahan tak ia terima barang satu pun. Karena mereka bukan ahli micro expressin yang mahir membaca perasaan dari mimik wajah, hingga ketulusan hatinya pun tak terbaca, jadi mungkin ia harus pandai-pandai mencipta sebuah kemenarikan. Mungkin ia harus memiliki karakter yang paling dicari dan dirindukan.
Seribu kemungkinan dalam analisa dan penataan langkah tepat mendapat tempat serta satu kepastian tentang asanya yang kerap meleleh memenuhi kepalanya, membuatnya pusing serasa berputar-putar sampai kadang ia hanya mampu menangis, mencari perhatian entah pada siapa.
Ia bawa juga cermin kemana pun ia pergi. ia ingin pintar berkaca dan memaknai pantulan diri, memperbaiki yang salah dan menggenapi yang kurang.
Tapi pecah sudah cerminnya, tapi bukan oleh tangan-tangan jahil, hanya oleh sunyi dan pengasingan, oleh kepedulian yang nihil. Semua terasa lebih keras menampar-nampar. Dalam sesak ia telan pahit kenyataan yang tak pernah jadi mimpi-mimpinya.
Aku seperti anak kecil yang egois dan tak mampu mengakrabi keindahan hari-hari, yang selalu memandang sesuatu dengan sebelah mata, yang tak mampu membuka diri, yang tak punya kunci seperti milik mereka, yang sedang menghadapi masalah klasik yang masih tetap terselubung karena kelemahan.
Rangkuman lontaran kata yang pernah ia terima itu ia baca kembali. Ia sudah tak membuat perumpamaan, tak membuat cerita tentang kemalangan dalam buku hariannya. Ia tinggal berdiam diri dan menunggu butir-butir air mata kering.
Semua terasa makin keras menampar-nampar.
***
“Konyol! Kau mengemas pencarian jati diri dengan cara paling kaku dan membosankan!”
“Aku tak harus membahas sosialisasi untuk kaupelajari, betul, kan?”
“Kau benar membuat hidupmu tambah sulit saja. Aku tak habis pikir dengan kesukaanmu tenggelam dalam kemalangan. Kau tahu, Ati, seharusnya kau itu...”
“Sudahlah! Petuah kalian telah kusimpan. Aku hanya ingin tahu, apa Manah sudah pulih dari bosannya? Aku ingin menemuinya...”
Aku masuk bersamaan dengan Ati mengangkat kepala sehingga tampaklah wajahnya yang sembab. Kusentuh bahunya untuk meyakinkan bahwa aku ada untuknya dan tak ‘kan bicara dengan nada tinggi.
Cilacap, 2010
Ulasan dari Joni Ariadinata (Redaktur Majalah Sastra Horison)
Kisah yang Tak Memiliki Kisah
Kisah Ati dan Manah adalah kisah persingggungan dua karakter yang dimiliki dua tokoh, dalam pencarian jati diri. Dalam cerpen yang ditulis oleh kawan kita Sarifatul Mukaromah, siswi SMA N 1 Maos, Cilacap, ini, pembaca diajak untuk mempertanyakan kembali kualitas kita menyangkut hubungan antarmanusia. Seringkali kita memandang remeh terhadap si A atau si B, hanya karena cara pandang kita yang keliru. Padahal setiap pribadi, selalu memiliki keistimewaan, keunikan, serta kekuatan-kekuatan tertentu, yang jika dipelajarii akan memperkaya wawasan serta kedewasaan kita. Dari pintu tokoh Ati dan tokoh Manah inilah, penulis mencoba membawa persoalan yang sepele (persoalan yang kecil) menjadi persoalan yang lebih luas.
Cerpen Ati dan Manah ini menarik, terutama bukan karena karena rangkaian peristiwa yang terjalin sebagai cerita, melainkan karena upaya pendalaman penulis terhadap makna di balik peristiwa. Jika banyak penulis pemula lebih suka menuliskan kisah persahabatan (atau percintaan), dengan jalan “mencari peristiwa yang menarik”, dengan tujuan agar ceritanya enak dinikmati, lancar diikuti, maka tidak demikian halnya yang dilakukan Sari Fatul Mukaromah. Ia mencari celah lain, yakni dengan meminimalkan peristiwa, untuk menggali sebanyak mungkin makna.
Maka, meskipun judul cerpen ini adalah Kisah Ati dan Manah, jangan membayangkan ada sebuah kisah yang seru tentang percintaan hebat, atau persahabatan hebat, atau permusuhan hebat, antara dua tokoh yang dikisahkan penulis. Tokoh Ati mengejar Manah hingga berdarah-darah, misalnya, menghadapi rintangan dari gunung hingga lautan. Atau tokoh Ati membenci Manah, melakukan intrik paling jahat, mengejar dari gunung hingga lautan. Sari Fatul Mukaromah hanya memperkenalkan bahwa : ada dua tokoh bernama Ati dan Manah, mereka saling mengenal dan bersinggungan tapi tidak saling mengenal dengan benar siapakah mereka masing-masing sesungguhnya.
Menggarap sebuah cerpen yang tidak mengandalkan kehebatan peristiwa tentu jauh lebih sulit. Karena diperlukan, selain keterampilan teknik dan penguasaan bahasa yang baik, juga wawasan yang luas (kecerdasan). Bagaimanakah mengemas sebuah cerpen tanpa cerita, agar tetapi tetap menarik dibaca sebagai cerita? Itulah sesungguhnya tantangan paling berat bagi seorang penulis. Kemudian, bagaimanakah cara Sari Fatul Mukaromah mengemas cerpen yang hampir-hampir tak ada cerita ini, menjadi cerpen yang cukup menarik?
Pertama, Sari Fatul Mukaromah memiliki pemahaman yang baik terhadap persoalan yang diangkat dalam cerpen ini. ia mengangkat tema yang teramat dekat dengan dirinya, yaitu pengalaman memahami dan menghayati (atau bahkan kemungkinan mengalami) pahit-getirnya berhubungan dengan pribadi yang berbeda-beda. Pemahaman yang baik terhadap sebuah persoalan, adalah modal paling pokok dalam menentukan keberhasilan sebuah karya.
Kedua, Sari Fatul Mukaromah memiliki rasa bahasa, serta kemampuan berbahasa yang lumayan baik. Ada banyak kalimat yang tidak hanya cerdas, tapi juga indah dan menarik. Kita lihat kutipan berikut ini : Musim berganti-ganti. Ia mengkhawatirkan semaiannya. Takut pancaroba mengacau pertumbuhan, was-was angin kencang memporak-poranda semaian yang tak cukup terlindung dan cemas hama-hama menyerang. Ia mengkhawatirkan itu sendirian.”; atau contoh kutipan lain :“Perasaannya lebih mudah terlukiskan sebagai rumput kering jauh dari mata air”. Kalimat-alimat semacam ini, tentu tidak akan lahir tanpa kepekaan penulisnya dalam memahami bahasa.
Tentu saja, di antara sekian kelebihan, masih terdapat kelemahan yang dimiliki oleh Sari Fatul Mukaromah. Ada beberapa kalimat yang ditulis seperti di luar kontrol sehingga maknanya kacau dan membingungkan. Atau, pada bagian-bagian tertentu, beberapa kalimat dipaksakan untuk “seolah-olah cerdas”. Kelemahan dari ingin dianggap cerdas, yang kemudian diwujudkan dalam kalimat-kalimat yang diselipi konsep yang rumit serta selipan kata-kata asing yang sesungguhnya tidak perlu, memang kelemahan umum yang melanda para penulis remaja. Mengingat bakatnya yang baik, maka, harapan ke depan, semoga hal ini tidak terjadi lagi.
Tulisan ini sengaja ditutup dengan kutipan membingungkan semacam ini, dengan harapan ke depan, Sari Fatul Mukaromah lebih berhati-hati. “Lalu ada kediaman, yang tak lain adalah pertunjukan cuek spektakuler diikuti pameran penerimaan atas yang lain, sambil ditunjukkan penataan langkah menghindar satu-satu.” “Ia pantas mengklaim dan mereka pun bebas mengklaim dan bebar yang kompak jadi dominan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H