Eksak selalu menuntut saya untuk serius, rapi, berjalur tertentu, merunut, menuruti rumus dan sederet kerepotan lain. Yang paling menyebalkan, eksak selalu membuat saya beku ketika ujian yang kaku dipenuhi kesibukan melakukan hal-hal terlarang seperti mencontek, diskusi dan menyelundupkan “sesuatu”. Saya kaku, sebab lumayan lama mematung di garis batas benar-salah yang tidak jelas, sambil bengong dan berpikir : saya mau ikut curang atau lurus-lurus saja, ya? Lalu, saya akan melenggang tenang, tentu saja ketika waktu sudah bergulir beberapa satuan. Saya memang butuh waktu untuk memutuskan. Tapi toh keputusan saya tidak mengagumkan. Tidak serupa keputusan bijak milik seorang tokoh, atau apapun lah. Dan sesungguhnya juga, hampir semua pihak andil mengaburkan garis batas benar-salah. Contohnya saja, para pendidik yang tak tegas-tegas amat menerapkan aturan. Alhasil, saya dan pembelajar lain tak begitu merasa tidak aman dikejar kesalahan, karena kami tak tahu pasti mana yang benar dan mana yang salah.
Tentang eksak lagi, ada satu pengalaman. Pengalaman yang didapat dari keikutsertaan saya dalam sebuah unit kegiatan mahasiswa berjalur seni dan budaya, yang sudah lama saya tinggalkan karena ternyata saya tidak cukup adaptif di dalamnya. Perkataan dari seorang kakak tingkat, bahwa bidang eksak akan membuat jauh diri pembelajar dari bidang sosial. Apa tandanya? Katanya karakter egois dihasilkan dari pembelajaran anak-anak yang menekuni eksak. Apa iya? Apa mungkin karena keidentikan ilmu eksak dengan nuansa kaku penuh logika, rumus, kenyataan dan lainnya, juga kompetisi? Wah, saya angkat tangan tanda tak tahu. Belum juga pernah membaca hasil penelitian yang terkait dengan itu, sehingga benar-benar hanya mampu berpintas jawaban ria : tahu ah, gelap! Terus, ada juga selorohan kakak tingkat itu tentang sebuah kegiatan tingkat universitas yang katanya bertujuan baik karena berorientasi pada kedekatan dengan Tuhan, tapi sistemnya payah total. Tentu tak saya telan mentah-mentah, melainkan dimatangkan dulu dengan sedikit pemikiran—dan jadinya cuma setengah matang. Tapi saya mengangguk juga lho, pada akhirnya. Saya percaya dia termasuk mahasiswa cerdas, dan saya jadi bisa membuka mata untuk hal-hal baru.
Setelah bicara tentang eksak yang pada akhirnya tetap membingungkan itu—tapi tak apa setidaknya bisa terungkapkan, saya hendak bicara tentang kuliah. How a stereotype idea! Ya, apa yang akan dikupas lagi dari kata “kuliah”? Atau kalaupun dikupas, apa isinya menarik? Apa yang belum pernah dibahas terkait dengan kuliah? Sepertinya tidak ada. Saya juga bukan tipe penemu, penemu tema yang super menarik dan jarang ada. Kalau diminta mengusulkan tema seminar, saya mentok membayangkan sebuah deret kalimat yang ada kata “Tingkatkan”, “Goreskan” atau “Generasi Bangsa”. Lalu, hidup di universitas ini membuat saya gampang terantar pada kata “konservasi”, bahkan cuma dengan sekali memejamnya mata. Beruntung juga sih, gampang mendapat tema tanpa menghabiskan banyak waktu. Jadi, akankah berkata “Hidup hal klise!” atau berlagak jadi orang yang selalu ingin ekslusif dan inovatif? Ah, saya mau bicara saja. Yang penting bicara, untuk mengeluarkan unek-unek. Sebelumnya dan seterusnya saya bersyukur, sebab UUD pasal 28 masih memiliki legitimasi yang baik, sehingga saya bebas berpendapat asal bertanggung jawab. Sementara, saya akhir-akhir ini sedang terhibur dengan kalimat “Ngobrol dong” yang sering terlontar oleh seorang teman, untuk menanggapi situasi dengan rekan yang miskom, walau padahal ya tidak perlu ngobrol, hanya ngomong. Haha. Entah itu sudah lewat masa booming-nya atau belum.
Kuliah. Apa yang asyik dengan kuliah? Kalau dosennya menarik, baik pemikiran, fisik maupun kepribadiannya. Kalau materinya baru dan bernas dengan ilmu mutakhir, atau kalau jadwalnya tidak geje (gak jelas). Itu kriteria menurut saya. Tapi apalah arti keasyikan. Cuma penumbuh mood yang diharapkan menjalar subur, setiap hari, setidaknya sampai sebuah semester habis. Dan pada akhirnya, bukankah mahasiswa terikat dengan semua hal yang normatif, administratif, ilmiah dan realistis? Kalau sudah berhadapan dengan halaman bertema warna hijau yang kerap dipelesetkan jadi “sikuda”, dengan sedikit cemas di antara kesibukan mengisi semacam kuesioner untuk menilai kerja dosen, bukankah mahasiswa akan pasrah sambil berusaha membayangkan yang baik-baik? Menganggap semua dosen itu asyik dan diam-diam berdoa agar tendensi tertentu pada beberapa dosen tidak berpengaruh—tendensi tidak suka misalnya. Itu pengalaman saya maksudnya. Lalu, atas dasar itulah, saya berusaha mengondisikan bahwa semua mata kuliah dan dosennya itu asyik; semua kuliah itu asyik. Sesungguhnya, inilah upaya saya untuk meningkatkan kekuatan mental juga menambah tunjangan bagi spiritualitas. Saya hendak berprasangka baik, sebab ikatan dengan administrasi, norma dan yang lain-lainnya itu tetap akan selalu ada. Hematnya, IP baik kalau prosesnya baik, kalau semangatnya baik dan kalau apa-apanya baik.
Kuliah yang identik dengan bahan bacaan pernah membuat saya sebal dan hampir mati...mati langkah maksudnya. Bagaimana tidak, kepercayaan dalam ranah ilmiah juga dilibatkan dalam kegiatan apapun yang berkaitan dengan bahan bacaan. Mau membuat makalah harus pakai sumber terpercaya. Mau bicara sesuatu tentang bahasan kuliah harus didasarkan pada sumber kredibel dan lain-lainnya. Sebagai civitas akademika yang merupakan masyarakat ilmiah, memang aturannya begitu. Tapi masalahnya sumber bahan bacaan terpercayaitu sering kayak sumber air (baca : aer) di daerah sulit air, alias susah ditemukan. Saya—mahasiswa—paling dekat sama netbook yang kerap digendong kemana-mana, dan paling sering mau dekat-dekat sama yang namanya mencari gratisan. Jadilah saya memanfaatkan dengan eksploratif fasilitas wifi—kata wifi konon benarnya dibaca “wai : fai” menurut dosen Kimia saya—di titik-titik tertentu. Nah, karena dekat dengan fasilitas gratisan yang satu itu, maka jadilah saya searching. Maka, apa yang dapat dipersalahkan dari kemunculan blog-blog yang kerap didatangkan oleh Mbah Google-sekejap itu? Demi kecepatan, saya ambil saja materi dari situ, dan saya tuliskan di kertas tugas, saya salin-tempelkan (bahasa klisenya copy-paste) di lain program untuk selanjutnya diedit atau saya memorikan langsung di kepala. Selesai sudah tugasnya. Tapi, yang dari awal memang sudah menyalahi aturan, saya Gamawan Fauzi, eh gamang maksudnya. Masa alamat URL blog mau dibiarkan bertengger dengan pedenya di daftar pustaka? Adakah perlu sedikit manipulasi? (Pura-pura mengernyitkan kening, padahal bilang “ayo saja” adalah hal yang mutlak—ups!). Inilah kepayahan saya. Sebenarnya saya memikirkan tujuan baik dari penggunaan sumber terpercaya, cuma ya seperti saya katakan tadi, saya punya keterbatasan, amat banyak.Terlebih, saya yang dulu semester 1 tak tahu menahu tentang referensi sumber terpercaya—sekalipun itu bukan bahan-bacaan-cetak-namun-terpercaya tidak masalah, tidak diberi tahu dan tidak juga mencari tahu. Ah, semoga saja kesalahan masa lalu itu dimaklumi.
Hal lainnya tentang kuliah yang patut dibahas (dan sungguh tidak tabu) adalah soal kehadiran. Saya biasa hadir awal-awal ketika mau kuliah. Mirisnya, malah dikomentari seperti ini oleh kakak tingkat di kos : Mangkat kuliah rak usah gasik-gasik. Seng penting ora telat. Rak usah sinau, seng penting tugase. Meh UTS rak perlu book-oriented, rak yo soale podo koyo taun sakdurunge. Jebret jebret jebret...Kayak terhantam dan terjerembab ke mana saja. Pasalnya sudah semangat semangat malah dijatuhkan. Dan saya tambah stuck saat melihat maba-maba lain di kos yang ternyata juga sesantai kakak tingkat. Tapi saya tetap berangkat awal. Dalihnya, ingin cari nuansa tertentu. Dan saya juga tak punya kendaraan. Siapa yang mau tanggung jawab kalau telat atau kalau terlihat kacau karena buru-buru seusai jalan dan naik tangga? Tapi saya menghargai kakak-kakak tingkat itu kok. Bagaimana pun juga mereka adalah para pelaku hidup sebelum saya di universitas ini. Mau tanya tentang upacara, tentang inagurasi atau tentang yudisium juga toh ke mereka. Maksudnya dulu, waktu masih maba. Waktu masih polos dan belum terbebani dengan raga yang terus menua...alah!
Saya percaya ilmu eksak dan aktivitas kuliah yang sedang saya genggam dan saya jalani ini selalu memberi manfaat, entah dari dulu awal semester, sekarang maupun masa depan. Kata seorang teman, kuliah yang saya dan teman-teman jalani ini bukan kebetulan kok. Pasti direncanakan oleh-Nya dengan baik. Saya mau termotivasi seperti ini terus, meski saya tidak hobi menelan banyak sekali pil motivasi berupa kata-kata. Kata-kata tokoh fenomenal sudah seperti ayat suci saja : jadi acuan banyak sekaliorang. Saya akan mengupayakan untuk tidak terlalu optimis dan tidak terlalu pesimis, alias sedang-sedang saja. Tidak kelewat berapi-api dan tidak kelewat redup. Saya akan berada di pertengahan antara klise dan eksklusif saja. Semua oleh karena rahasia-Nya yang begitu pekat dan tersembunyi sebagaimana Dia gaib segaib-gaibnya, sehingga sedikitpun tak akan bisa tertebak kenyataan yang akan terjadi. Dengan sedang-sedang saja dalam berekspektasi, mungkin saya akan banyak terbantu untuk menerima setiap kenyataan dengan sepenuh kerelaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H