Anda pasti sering mendengar pernyataan: (yang intinya) kalau ingin kaya, maka jangan jadi orang pintar, jadilah orang bodoh. Sebab, orang pintar, lebih banyak pertimbangannya daripada aksinya. Ada juga nasihat, kenapa harus sekolah tinggi, kalau ingin kaya. Nasihat-nasihat ini seolah-olah menafikkan kepintaran dalam kaitannya dengan kesuksesan.
Sebenarnya, batasan pintar dengan bodoh dalam pernyataan tersebut masih mengambang. Apakah yang dimaksud ‘pintar’ adalah orang yang mempunyai kecerdasan tinggi, atau yang bersekolah tinggi tidak dijelaskan. Setahu saya, banyak sekali orang pintar yang menjadi orang kaya. Sebagai contoh, Jeff Bezos, pemilik Amazon.com, lulus dari Princeton University dengan IPK 4,2. Demikian juga dengan Bill Gates, Mark Zuckerberg adalah orang-orang cerdas yang kaya, walaupun mereka drop out dari kuliahnya.
Kesuksesan seseorang memang tidak tergantung dengan banyaknya gelar yang dimiliki. Banyak orang yang tidak pernah merasakan bangku sekolah, yang mendapatkan kesuksesan dan kekayaan. Tapi, banyak juga, orang yang sukses dalam pendidikan, sukses pula di dalam kehidupannya. Ini masalah tekad, keahlian dan nasib, bukan masalah pintar atau bodoh. Walaupun sekarang mungkin berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya, dimana perbedaan nasib orang pintar dengan orang bodoh sangat terlihat.
Di dalam bukunya yang berjudul The Third Wafe-yang ditulis puluhan tahun yang lalu-, Alvin Toffler membagi sejarah manusia dan peradabannya dalam tiga gelombang, yakni Gelombang Pertama (tahun 8.000 S.M s.d 1700 M), Gelombang Kedua (tahun 1700 s.d 1970) dan Gelombang Ketiga (tahun 1970 s.d 2000). Gelombang Pertama adalah gelombang pembaruan, dimana manusia menemukan dan menerapkan teknologi pertanian. Gelombang Kedua adalah masa revolusi industri, yang dimulai dengan penemuan mesin uap tahun 1712. Selanjutnya, Gelombang Ketiga, yang ditandai dengan pengutamaan pelipatgandaan kekuatan pikir manusia.
Mari kita jabarkan tiga gelombang diatas. Gelombang pertama dan gelombang kedua, dibutuhkan sebuah ketrampilan dan sebuah pendidikan yang menyangkut ketrampilan tersebut. Jadi tidak terlalu dibutuhkan orang-orang yang pintar dalam hal akademis. Ketika seseorang menguasai ketrampilan yang berhubungan dengan pekerjaannya, itu sudah cukup. Untuk menjadi kaya, seseorang harus mempunyai tekad yang kuat. Nah, mungkin pernyataan orang bodoh bisa menjadi kaya, cocok untuk dua gelombang ini.
Tapi, gelombang ketiga, apalagi gelombang keempat dan seterusnya, lebih diperlukan orang yang pintar daripada orang bodoh. Sebab, Anda lihat kata Alfin Toffler, di gelombang ini lebih diperlukan pelipatgandaan kekuatan pikiran. Tidak hanya dibutuhkan kerja keras, tapi juga sebuah pemikiran yang brilian. Apalagi di era konseptual seperti ini, diperlukan sebuah ide, informasi, dan kreativitas untuk menjadi kaya.
Memang, di gelombang ini, orang yang tidak berpendidikan atau yang tidak berpendidikan tinggi pun memiliki peluang untuk sukses dan kaya. Tapi, diperlukan sebuah pembelajaran yang lebih agar tidak tersaingi oleh orang-orang yang pintar. Jangan sampai orang-orang ‘bodoh’ tersebut menceburkan diri ke sesuatu yang belum dia kuasai.
Anggapan jangan terlalu banyak pertimbangan harus dikaji ulang. Sebelum memutuskan menjalani sesuatu kita harus memiliki keterampilan terlebih dahulu. Keterampilan ini bisa didapatkan melalui buku, seminar, website atau belajar dengan orang yang sudah berpengalaman.
Brian Sher di dalam bukunya yang berjudul What Rich People Know and Desperately Want to Keep a Secret menceritakan orang-orang yang ‘kebelet wirausaha’. Dimana mereka menceburkan diri kedalam bisnis tanpa adanya keahlian untuk berbisnis. Mereka meminjam uang dalam jumlah besar dengan jaminan seluruh harta pribadi atau tabungan hidup mereka untuk memulai berbisnis. Tetapi mereka melupakan yang paling penting dalam berbisnis, yaitu pelanggan. Jadi mereka menciptakan pekerjaan yang baru untuk mereka sendiri, dan menerima penghasilan yang lebih kecil daripada sebelumnya. Dan: “Hasilnya fatal, mereka terlambat menyadari bahwa memiliki sebuah bisnis sendiri berarti mempelajari satu set keahlian berbisnis yang sama sekali baru. Jika mereka tidak berinisiatif melakukan sesuatu untuk menguasai keahlian tersebut, langkah selanjutnya pasti kegagalan dalam bisnis.” Katanya.
Keahlian dalam berbisnis tentu berbeda dengan keahlian yang lain. Jangan mengira, keahlian ini akan ada dengan sendirinya ketika kita menceburkan diri kedalam bisnis. Walaupun ini bisa didapatkan dari kegagalan demi kegagalan, tapi sekarang hal itu tidaklah cukup. Nah, untuk itu diperlukan belajar yang terus menerus. Sa’di Syirazi, seorang sarjana Muslim berkata, “Orang arif berusaha belajar meski kata-kata berhikmah hanya bertuliskan pada dinding.”
Merencanakan sesuatu, tidak sesederhana yang dipikirkan. Merencanakan sesuatu harus berdasarkan realita dan kemampuan, jangan hanya karena ikut-ikutan. “Perencanaan dan pemikiran tentang masa depan bukanlah pekerjaan yang mudah. Perencanaan ini harus menjadi suatu sarana yang dapat melahirkan visi yang dikehendaki, bersangkut paut dengan masa depan yang diinginkan dan cara-cara serta metode-metode yang melahirkannya. Perencanaan harus dihubungkan dengan seluruh jangka hidup dalam satu rangkaian perkembangan terpadu untuk masa depan. Perkembangan, kami tekankan lagi, adalah suatu proses multidimensional.” Kata Ziauddin Sardar, seorang futurolog.
Nah, oleh sebab itu, untuk Anda yang masih sekolah atau kuliah, jangan berkecil hati. Anda memiliki kesempatan besar meraih sukses. Belajarlah yang rajin, jangan lupa untuk mengasah berbagai macam keterampilan. Untuk yang merasa ‘bodoh’ Anda juga memiliki kesempatan untuk sukses. Anda mempunyai kesempatan untuk menjadi ‘pintar’ dengan lebih murah dan mudah bila dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Yang paling penting adalah keinginan untuk belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H