Mohon tunggu...
Puspita Wulandari
Puspita Wulandari Mohon Tunggu... -

Saya seorang guru di sebuah sekolah pinggiran tepatnya di SMK Negeri I Kertosono kab Nganjuk prop Jawa Timur. Saya mengajar bidang study Fisika dan IPA. Saat ini sedang belajar menulis dan mengembangkan diri dengan tujuan mampu mengembangkan potensi siswa secara maksimal. Saya mencanangkan SASISAE (Satu Siswa Satu Email) dan SASISAB (Satu Siswa Satu Blog)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Percaya dan Biarkan Siswa Berbuat Salah

20 Februari 2010   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:49 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap guru pasti menginginkan murid-muridnya pandai dan sempurna, sehingga memudahkan guru melakukan proses pembelajaran di kelas. Mungkin saya salah satu guru yang memiliki pemikiran berbeda. Apabila pada saat proses pembelajaran berlangsung tidak ada masalah/kendala sepertinya ada sesuatu yang hilang. Namun jikalau pada saat proses pembelajaran timbul masalah/kendala, pulang rasanya bahagia karena memiliki pekerjaan rumah yang menantang.

Kebetulan saya diberi tugas mengajar Fisika dan IPA, selama ini fisika selalu dianggap sulit padahal kalau mau belajar dengan hati maka fisika pada dasarnya asyik. Begitu juga dengan pelajaran IPA.
Siswa yang baru masuk (Kelas X) pasti protes setiap kali saya menyatakan kalau fisika itu menyenangkan dan mengasyikkan asalkan mau belajar dengan hati. Tambah banyak yang protes. “Belajar dengan hati?!”. Paling-paling saya hanya tersenyum, setiap kali mendengar protes mereka. Saya ceritakan sedikit caranya belajar dengan hati, kalau membaca soal jangan tergesa-gesa, resapi dan pikirkan. Kalaupun salah/gagal harus mau berjuang lagi supaya bisa. Tidak usah takut mencoba. Begitu juga pada saat melakukan praktikum jangan buat manipulasi data, jikalau hasilnya menyimpang/gagal cari permasalahannya; prosedurnya, rangkaiannya, validitas alat ukurnya atau terjadi kesalahan paralak pada saat membaca hasil pengkuran.
Ada yang menarik, setiap kali siswa disuruh mengerjakan soal di papan tulis, atau mempresentasikan hasil praktikum dan diskusi kelompok di depan teman-temannya, sebagian besar sebelum mencoba mengerjakan soal atau presentasi sudah takut salah/gagal. Mencoba saja belum, bagaimana tahu benar dan salahnya atau berhasil dan gagalnya?. Lebih parah lagi, mereka memohon supaya jangan dimarahi bilamana melakukan kesalahan/kegagalan. Ya pastilah saya ndak akan marah, mereka mau maju saja sudah bahagia apalagi kalau pekerjaannya benar, presentasinya luar biasa, kalaupun salah/gagal kita diskusikan bersama dimana letak kesalahannya kemudian kita cari solusinya.
Disinilah tantangannya, berani membiarkan siswa melakukan kesalahan/kegagalan dan berusaha sendiri mencari solusinya, jika memang sudah benar-benar tidak mampu atau tidak sanggup baru kita bantu mencari solusinya, kalaupun masih sanggup biarkan dia berpikir mencari solusinya sendiri, tugas guru menumbuhkan kepercayaan dirinya dengan menumbuhkan prinsip di dalam jiwanya bahwa setiap anak dilahirkan jenius dan special hanya saja kemampuannya berbeda-beda. Kalupun salah/gagal harus berani berjuang mencari jawabannya atau solusi dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.
Pepatah bijak mengatakan bahwa kegagalan adalah proses belajar yang harus dilalui. Tanpa adanya kegagalan, yang namanya keberhasilan tidak akan pernah diketemukan. Thomas Alfa Edison adalah contoh yang nyata. Setelah ribuan kali mengalami kegagalan untuk menemukan lampu listrik, akhirnya beliau berhasil.

Pemenang sejati adalah pemenang yang mampu mentoleransi kegagalan yang dialami serta berjuang untuk meraih keberhasilan dan bukannya menyerah pada keadaan. Disamping itu, keberhasilan akan diraih jika seseorang berani mengambil resiko dan tidak takut akan kehilangan / kegagalan.

Menumbuhkan kepercayaan diri siswa tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berilah kepercayaan sepenuhnya, biarkan siswa melakukan kesalahan/kegagalan dan biarkan dia belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat, dan berjuang untuk memperbaikinya sendiri. Seperti ketika kita membiarkan anak belajar naik sepeda. Berikan sepeda dan biarkan dia belajar menaikinya. Kalau jatuh biarkan dia bangkit dan menaikinya kembali. Kita cukup menyiapkan obat merah saja, bila mereka terluka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun