Perubahan jaman dan perubahan kesedaran manusia terlihat jelas setelah nasionalis Trump pegang kekuasaan sebagai presiden AS, negara adidaya yang selama hampir 200 tahun dikuasai oleh 'the finance element of the large centers' (Roosevelt 1933) atau disebut juga The 'secret government' (prof Michael Glennon) atau yang sekarang kita sebut dengan penguasa global neolib. Dengan naiknya Trump ke Gedung Putih, maka era 'Obama was the last gasp of neoliberalism'.
Perubahan dan perkembangan terjadi terus menerus, dan sangat dahsyat tidak disangka-sangka antara 2016-2017, permulaan detik-detik dimana "Nationalism beats Globalism"Â and "many on the Left have the sense that something dangerous and ugly is spreading: right-wing populism, seen as the Zika virus of politics" kata prof Jonathan Haidt New York University. Itulah yang tiba-tiba terjadi tak disangka oleh sebagian besar penduduk dunia, dimana nasionalisme menaklukkan internasionalisme neoliberal, dan bikin Obama sebagai penikmat terakhir neoliberalisme di Gedung Putih.
Selama abad lalu kontradiksi soal senjata nuklir sepenuhnya berada dan dikendalikan atau dimainkan oleh penguasa neolib dengan memperalat tangan gedung putih (presidennya). Â Obama adalah alat atau tangan terakhir yang dimanfaatkan, termasuk dalam membentuk organisasi teror ISIS (terrorism is made in USA - prof Chossudovsky). Trump terus terang menuduh Obama dan Clinton sebagai pendiri ISIS. Dan ISIS adalah organisasi teror terbesar yang pernah ada selama era sejarah terorisme dunia. Sebabnya pastilah karena sasaran pertama dipusatkan ke sumber duit yang berlimpah yaitu minyak Syria dan Irak, sehingga bisa rekrut serdadunya dari seluruh dunia, terutama di negeri barat yang banyak muslim pengangguran dan anak-anak muda muslim naif. Â
Tetapi sekarang, fabrik terorisme bukan lagi di USA, dan dengan sendirinya juga permainan atau sandiwara senjata nuklir tidak mungkin lagi ditangani oleh penguasa global neolib itu lewat tangan Gedung Putih. Kalau neolib mau memainkan sandiwara nuklir seperti pada era lama, Trump harus disingkirkan lebih dulu seperti pada era Kennedy dalam sandiwara senjata nuklir era krisis Kuba 1962. Tetapi menyingkirkan Trump dari Gedung Putih bukanlah soal kecil seperti pada era Kennedy. Bisa-bisa jadi sangat berabe dan lebih celaka bagi neolib internasional ini.
Tetapi jalan yang 'lebih berhati-hati dan waspada' tetap bisa dijalankan oleh neolib, seperti: dalam negeri menggiatkan semua penentangan (oposisi) terhadap Trump seperti 'Obama Care' dsb, dan di LN:
1. mengadu domba Trump dengan China dan Korut.
2. mengadu domba Trump dengan Putin (alasan Rusia sabotase pilpres 2016) atau dengan Jerman Merkel, atau
3. mengadu domba Trump dengan negara mana saja di dunia, karena Trump dengan politik 'isolasinya' (nasionalisme) tidak hanya akan menghancurkan ekonomi AS tetapi juga seluruh dunia yang menganggap free trade dan bank dunia IMF atau World bank, telah bikin bahagia mereka, dan akan bikin sengsara dengan politik 'isolasi' atau nasionalismenya si Trump, yang mau hapus free trade dunia dan menggantikannya dengan solusi bilateral tanpa campur tangan dengan pihak ketiga (trade organisation) atau bank-bank besar milik rentenir internasional.
Bagi Indonesia sendiri sudah mulai terasa sekarang sejak akhir 2016, peningkatan ekonomi yang lancar karena tidak ada lagi campur tangan atau dengarkan dikte-dikte 'ilmiah' dari penguasa neolib model JP Morgan (sudah didepak dari Indonesia oleh menkeu Sri Mulyani), atau IMF, Bank Dunia dsb.
Nada suara dalam sandiwara senjata nuklir dari pihak AS maupun NATO terasa 'lebih rendah' dibandingkan nada suara abad lalu. Ini disebabkan situasi perubahan dunia itu, kekuasaan nasionalis Trump di AS, dan keeratan Trump dengan nasionalis Putin (Rusia), dpl karena  sama-sama nasionalis, keeratannya adalah secara natural, sama halnya dengan keeratannya dengan Brexit, dan semua partai-partai kebangkitan nasional eropah barat negeri UE. Dan UE seperti kita ketahui adalah proyek besar neolib internasional di Eropah.
"Kehadiran lokasi misil anti-balistik Amerika (ABM) di Eropa dan kapal bermuatan ABM di laut dan samudra dekat teritori Rusia, menggambarkan potensial kekuatan untuk melahirkan sebuah misil nuklir kejutan melawan Rusia," ujar Poznikhir, dalam konferensi di Jenewa, dikutip dari Independent, Kamis (30/3).