Puisi Sukmawati di isukan jadi isu politik yang tentunya arahnya bisa diduga, Sukmawati putri Soekarno, kakak ketum PDIP Megawati, yang juga pendukung presiden Jokowi. Dan presiden Jokowi sebagai pusat arahan panah dari semua oposisi yang ingin berkuasa tetapi harus menjatuhkan Jokowi dulu tentunya.
Dari isu ke isu, kasus ke kasus, politis atau tidak, tetapi semua isu bisa dipolitikkan, menuju satu arah tadi. Isu PKI, kebangkitan komunisme, teror Thamrin, ratusan ribu akun pecah belah Saracen, HTI, isu LGBT, aniaya Ulama, dsb dst . . . semua bikin kekacauan, pecah belah atau adu-domba berbagai golongan disatu negeri.
Tebar isu, bikin air sekeruh mungkin dan 'menangguk di air keruh', menangguk kekuasaan atau jalan ke kekuasaan. Ini sangat terlihat diseluruh dunia, divide and conquer menuju puncak kekuasaan satu negeri atau menuju kekuasaan NWO. Â
Pepatah tua bangsa ini 'menangguk di air keruh', tadinya dijalankan degan mulus dan lancar di era ketertutupan seluruh dunia, dan masih juga diteruskan ke era keterbukaan abad 21, tetapi resikonya ialah tidak bisa dihindarkan akan ditelanjangi sampai ke akar-akarnya, karena semuanya juga sudah terbuka. Contohnya 'ramalan 2030' telah begitu tersuluh, atau juga 'rumah hantu' Hambalang, tak ada yang selamat dari penelanjangan!
Sebutan 'isu dan kekacauan' . . . atau dengan istilah 'issue' dan 'confusion', jadinya saya teringat istilah seorang 'Jew' (honest Jew) di artikel 'Harold Wallace Rosenthal Confessions', dimana dia bilang begini:
"We Jews have put issue upon issue to the American people. Then we promote both sides of the issue as confusion reigns. With their eyes fixed on the issues, they fail to see who is behind every scene. We Jews toy with the American public as a cat toys with a mouse."Â
Wa ka ka . . . Terlihat jelas perpaduannya antara 'isu dan kekacauan' yang diciptakan di Indonesia dengan 'issue and confusion' ciptaan si Rosenthal ini. Di AS banyak contohnya memang, seperti isu adu domba di Charlottesville Agustus tahun lalu, terror Boston 2013, atau juga terror 'nine eleven'.
Tetapi di Indonesia juga tidak kurang contohnya seperti Gerakan pecah belah Saracen, 212, teror Thamrin, gerakan 'aniaya Ulama' di Jabar, gerakan kawin-mawin LGBT, 'ramalan 2030' dll dst. Tidak usah ngomong lagi soal 'issue and confusion' kudeta Untung 1965 yang bikin banyak korban manusia dan bikin banyak penjarahan SDA Indonesia sehingga sekarang pada pokoknya sudah tidak banyak lagi yang namanya SDA. Semua soal umumnya sudah dimengerti dan semakin jelas di era keterbukaan ini.
Di Indonesia, kita tidak begitu terbiasa dengan istilah 'We Jews' seperti yang dimaksudkan oleh Rosenthal dalam interviewnya 40 tahun lalu (1976). Tetapi sebagai gantinya kita sudah kenal betul istilah-istilah 'neolib', 'komunis', atau juga 'NWO'. Dan yang sangat menguntungkan ialah bahwa informasi dan penjelasan yang semakin mendalam dan hakiki dalam semua istilah-istilah ini telah bisa dibaca di internet pada era keterbukaan sekarang ini, termasuk interview Rosenthal itu secara lengkap sudah bisa diperoleh.
Rosenthal sendiri tewas dibunuh oleh teroris sebulan sesudah interview itu. Dan isi interviewnya baru mulai sangat populer sekarang ini setelah dunia memasuki era keterbukaan, dimana informasi dan pengetahuan mengalir bebas dari semua dan untuk semua.