Menarik sungguh memang sebagai seorang jenderal dan panglima TNI. Kalau kita lihat masa lalu, terutama pada abad 20, adalah abad gemilang bagi para jenderal negeri-negeri berkembang. Di Indonesia misalnya Panglima Kostrad jadi presiden 1965 dan bisa berkuasa 3 dekade. Umumnya pemindahan kekuasaan ini (banyak kudetanya) sering terjadi dibanyak negeri kaya SDA, diprakarsai oleh kekuatan neolib internasional dalam rangka tujuan ke SDAnya, duit, duit, duit. Begitu juga di Indonesia 1965 itu, begitu juga di negara tetangga kita, di Myanmar para jenderal bahkan sampai sekarang masih punya kekuasaan besar, walaupun terselubung. Mereka berubah jadi penguasa ekonomi baru, mengikuti arah ekonomi neoliberal internasional. Mereka ini sekarang jadi alat/perwakilan utama neolib internasional deep state di Myanmar.
Di Indonesia para ex jenderal ada yang ditampung Jokowi dalam pemerintahannya. Mereka dianggap berguna atau bikin manfaat bagi perkembangan RI. Jenderal Gatot sebagai panglima TNI terlihat agak 'istimewa'. Banyak manuvernya berbau politis, walaupun dalam pengertian biasa dan umum, militer tidak boleh berpolitik praktis. Akan tetapi soal ini juga dibantah oleh Gatot, apa yang tidak politis, 'orang kawin juga politik' katanya. Gatot juga jadi 'gencar semangat' karena digembosi berita-berita media bakal jadi capres atau wacapres 'gemilang' pada pilpres 2019.
Seorang panglima Kostrad jadi presiden 1965, dengan bantuan kudeta gemilang dan brilian. Ini kalau ditnjau dari segi yang agak berlainan, dimana kudetanya dinilai sangat berkualitas tinggi dari segi pengetahuan tentang kontradiksi sosial yang ada dalam masyarakat dan kontradiksi dalam lingkungan khusus militer, seni pemindahan kekuasaan dengan rahasia, ketelitian dan kegelapan yang sangat rapi. Ini dilukiskan oleh seorang penulis James DiEugenio dalam bukunya 'Destiny Betrayed':Â "it was a multi-layered, interlocking masterpiece of a clandestine operation. A coup d'etat that was so well designed, so beautifully camouflaged, so brilliantly executed".
Gatot pastilah sedar juga kalau dizaman lama kegemilangan dan keberhasilan seorang jenderal melangkah ke kursi presiden dengan cara indah diatas sudah tidak mungkin sekarang. Dia melihat dan mempelajari cara lain bagaimana berpolitik supaya bisa jadi presiden panglima tertinggi atau setidaknya jadi wakilnya. Dia sangat gigih dalam hal ini dan giat sekali bermanuver memanfaatkan semua yang mungkin, bikin popularitas dan kesan menakjubkan bagi publik. Dia membatalkan secara sepihak latihan dan kerjasama militer dengan Australia, walaupun ini mestinya wewenang menteri pertahanan. Gatot bikin begitu bisa jadi untuk menyesuaikan dengan pernyataannya bahwa terorisme dibiayai dari luar termasuk Australia, dan peningkatan bantuan militer AS ke Australia katanya sangat berbahaya bagi Indonesia. Dalam revisi UU terrorisme, Gatot imengusulkan supaya mengikutkan militer selain polisi didalamnya. Ini hanya beberapa contoh politik praktis Gatot.
Gatot sebagai pejabat panglima TNI punya kesempatan banyak memang, apalagi dibawah panglima tertinggi Jokowi yang dia anggap kurang tegas sehingga bisa bermanuver bebas. Ini dimanfaatkan oleh Gatot dengan berbagai manuver politik, seperti bikin acara-acara pertemuan dengan pidato-pidato politiknya. Dia juga dalam tulisan Allan Nairn seorang penulis dalam ivestigasi militer, dimana Gatot termasuk jenderal yang dinyatakan terlibat dalam rencana makar terhadap Jokowi dan dikaitkan dengan grup radikal islam. Allan Nairn menulis dengan banyak fakta kenyataan dilapangan. Gatot membantah pernyataan Allan Nairn dan bilang 'dia gila'.
Trobosannya nobar film G30S sekarang ini dari segi politik memang tepat waktu. Bukan karena bulan September, tetapi karena saat-saat dimana Saracen dalam puncak-puncaknya memecah belah NKRI. Semua insan Indonesia mengetahui dan merasakan bahwa film itu adalah isu yang sangat sensitif. Ini juga dinyatakan tegas oleh kapolri Tito.
Sindikat pecah belah Saracen dibiayai dari luar, artinya oleh grup divide and conquer neolib internasional dengan tujuan yang sudah jelas bagi semua, pecah dan kuasai demi duit, duit, duit . . . SDAnya. Seperti kudeta 'indah' 1965 yang menghasilkan triliunan dolar disedot dari Papua saja oleh perusahaan neolib Freeport, tanpa suara, selama 50 tahun! Tanpa kuedeta dan tanpa menyingkirkan Soekarno lebih dulu, hal ini tidak mungkin terjadi, karena Soekarno dengan semua pendukungnya dalam Nasakom, menentang keras modal asing ketika itu.
Jenderal Gatot mempertahankan bahwa nobar film G30S adalah demi pencerahan sejarah, bagi generasi sekarang, supaya tidak terulang lagi katanya. Pencerahan memang bagus, tetapi bahwa film G30S adalah isu sangat sensitif, tentu jenderal Gatot juga mengerti bisa menilai, apakah lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya kalau dinobarkan sekarang ini. Mencerahkan untuk bikin keharmonisan, atau malah untuk lebih bikin perpecahan dan kekhawatiran dan lebih saling mencurigai dikalangan publik. Mana yang dia pilih! Dan mana yang terjadi dalam kenyataan atau dimaksudkan akan terjadi dalam kenyataan. Kekhawatiran terlihat lebih berdominasi daripada sisi pencerahannya, terlihat dari reaksi banyak orang, termasuk reaksi dan anjuran kapolri Tito kepada semua pihak supaya jangan angkat isu sensitif dimana situasi sangat rentan.
Kita sudah melihat apa yang terjadi setelah isu sensitif manuver jenderal Gatot angkat isu sensitif nobar film G30S, sejajar dengan manuver pecah belah Saracen. Manuver pecah belah itu semua memang bisa diatasi dengan sukses, berkat sudah tingginya kesadaran dikalangan publik Indonesia dan terutama kecekatan kapolri Tito dalam antisipasi semua manuver pecah belah itu. Kecemasan masyarakat karena pecah belah Saracen maupun kemungkinan karena nobar G30S isu sensitif itu bisa diatasi.
Film G30S memang menunjukkan kejadian dan fakta yang benar terjadi, pembunuhan kejam dan sadis atas grup jenderal Yani oleh grup let-kol
Untung yang ketika itu sebagai pengawal presiden Soekarno. Pembunuhan para jenderal itu sama sadisnya dengan pembunuhan 3 juta rakyat tak besalah yang diuber dan dibantai seperti tikus-tikus diladang padi. Kekejaman dan kesadisan pembunuh-pembunuh ini (pembunuh grup jenderal atau pembunuh 3 juta rakyat itu) memang tidak ada taranya. Karena itu memang masih perlu selalu pencerahan bagi rakyat awam yang tidak bisa menilai sendiri seluk beluk kudeta 'indah' itu. Tetapi pencerahan itu tidak cukup hanya dengan mempertotonkan film itu, karena film itu sangat sensitif, terutama untuk anak-anak dibawah umur seharusnya tidak boleh nonton kalau tidak ditemani orang tua dan menjelaskan. Penjelasan ini bahkan perlu bagi orang dewasa juga, supaya seluk beluk kudeta 1965 itu bisa dipahami hakekat yang sesungguhnya, siapa sebenarnya dibelakang kudeta itu, dan keuntungan apa yang didapat oleh perekayasa kudeta ini dari pembunuhan kejam dan sadis itu, pembunuhan 3 juta maupun pembunuhan grup jenderal itu.