Mohon tunggu...
Pemas Sepriawan
Pemas Sepriawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga

Avonturir langit yang gagal move on

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Umpatan "Longor" sebagai Sarkasme dalam Bahasa Medan

22 Januari 2024   20:07 Diperbarui: 2 Februari 2024   19:45 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 "Longor kali kau, gitu aja nggak bisa."

"Jangan goyang kali longor."

"Diamlah kau longor!"

"Kau longor!"

"Longor!"

Barangkali penggalan ucapan barusan menjadi tuturan khas bagi orang-orang Medan. Bahkan se-Sumatra Utara. Tak jarang dari mereka, menyematkan kata "longor" dalam percakapan antar sesama. Kata "longor" sendiri merupakan umpatan sebagai pelampiasan ledakan sentimen saat marah, muak, dan emosi menggebu-gebu. Dalam kacamata Medan, kata "longor" merujuk pada makna bodoh, bego, dan tolol.

Medan lahir serupa daerah Nusantara lainnya, memiliki logat distingtifnya tersendiri. Secara luas, Medan dikenal sebagai salah satu kota kental dialek kasar, tegas, dan terkesan seperti orang marah-marah. Meski begitu, segalanya bertolak dari sejarah geografis daerah tersebut yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, mengakibatkan perlunya nada tinggi dalam berkomunikasi agar gelombang suara dapat menjangkau titik lawan bicara. Rasanya akan aneh andaikata masyarakat Medan menggunakan nada halus dalam berbicara. Sama situasinya dengan kata "longor" yang selalu dirapalkan secara lugas, juga kasar selaku umpatan. Acapkali masyarakat Medan berbahasa sehari-hari akan tampak layaknya orang bersungut-sungut.

Dialek khas ini tak hanya diberdayakan di Medan, namun meluas ke seluruh penjuru Sumatra Utara. Saya, sebagai penduduk salah satu kecamatan di Sumatera Utara, sebut saja Kecamatan Tanah Jawa. Logat kasar, nada tinggi dalam bicara juga merebak di kalangan manapun. Bahkan kata "longor" sudah dikenal oleh anak-anak mulai usia delapan tahun. Situasi ini seiras imbas atas budaya umpatan kasar yang kebanyakan reflek saat pengucapannya. Umpatan anak-anak sebagai refleksi dari kekesalan yang mereka dapat, seperti digoda saat bermain game online atau sekedar mengotak-atik ponsel, hingga diprovokasi kecil-kecilan yang memantik emosinya berapi-api.

Slogan "longor" di kalangan remaja diperuntukkan tak sekedar mengekspresikan kekesalan, tapi juga dalam konteks bercanda. Sesederhana, saat terdapat salah seorang teman bertindak konyol dan nyeleneh seketika disuguhkan kata "longor" sebagai reaksi atas aksi tersebut. Pun bercanda, volume nada bicara akan tetap tinggi selayaknya orang marah. Keadaan semacam ini akan disambut gelak tawa, sebab dinilai lucu sebagai polemik perdebatan antar teman.

Berbicara dengan nada tinggi khas Medan sejatinya tak selalu kasar dan menakutkan. Berangkat dari pengalaman saya merantau di pulau Jawa, lingkungan dan orang-orang sekitar menyambut hangat kehadiran saya. Sebagai pendatang, jelas saya masih menggunakan tata bahasa daerah asal untuk berkomunikasi, seperti kosa kata asing, serta volume tinggi ketika melafalkan. Lantunan nada tinggi khas daerah saya dalam mengobrol terlihat lucu, karena dianggap unik, dan terkesan seperti orang yang mengomel. Tak jarang dari mereka dengan sengaja melancarkan aksi kecil-kecilan yang memancing emosi memuncak. Saat saya meluapkan kejengkelan, mereka puas tertawa. Situasi ini membuat saya merasa diterima sebagai keluarga di tempat asing.

Meski tampak galak dalam bertutur, masyarakat Medan juga menyambut hangat perantau bertamu, baik yang mengenyam pendidikan, bekerja, bahkan migrasi. Kadang kala umpatan "longor" dilontarkan sebagai reflek atas kondisi yang ada. Secara susila, kata "longor" sangat tidak baik karena merefleksikan umpatan yang tak sesuai regulasi norma kesantunan. Akan tetapi, bertumpu pada keberagaman bahasa dan budaya di Nusantara, perihal ini dapat dijadikan sebagai kategorisasi kearifan lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun