Kantuk benar-benar tak bisa lagi kutahan. Padahal malam belum seperempatnya. Telah beberapa menit mataku terpejam. Ada kunang-kunang kulihat di sana. Mula-mula seekor, lalu menjadi dua.Menjadi empat.Menjadi delapan.Hingga akhirnya membentuk gugus-gugus.
Tiba-tiba tubuhku bergoyang sekali-sekali. Bukan gempa.Ada tangan yang kurasa menyentuh pinggulku. Mata kembali kubuka. Kulihat sebuah senyum terbias dari bibir seorang kakek yang berdiri tegak di hadapanku. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya. Apalagi jubahnya, belum pernah kulihat pakaian seputihnya.
Kakek itu memintaku bangun. Perlahan kuangkat tubuh ke pinggiran ranjang. Duduk tepat di hadapan beliau. Ia terlihat merogoh saku jubah.Meraba-raba sejenak. Ada sesuatu yang dikeluarkannya dari sana.
“Cucuku! Kakek akan memberikan sesuatu untukmu. Tapi, kau harus berjanji menjaganya.” kata kakek itu. Aku hanya mengangguk
Beliau meraih telapak tangan kananku. Dengan tangan kanannya, kakek meletakkan benda yang dikeluarkan dari jubahnya tadi. Aku tak mungkin salah, benda ini pastilah potongan kecil ranting bambu yang disatukan dengan temali hitam.
“Cucuku, benda di tanganmu ini adalah gelang bambu kuning. Dengan izin yang kuasa, ia akan menjadi pelindungmu dari marabahaya yang beberapa hari ke depan akan melanda kampung ini.Pakailah di pergelangan tanganmu, dan ingat jangan sampai lepas.” Jelas kakek.
Kakek itu meraih kembali gelang tadi dari tapak tanganku. Ia mengikatkannya di pergelangan kanan dengan beberapa kali simpul mati. Setelahnya, ia berlalu meninggalkanku.
***
Peluh kini berlari bergantian menembus pori-pori kulit. Wajah, lengan dan leherku dibuatnya mengkilap saat sang surya menerpa. Baju putih dan celana abu-abuku di beberapa bagiannya kini telah mulaibasah. Kudatangi pohon kelapa di pinggiran jalan. Aku berteduh di sana meski jarak rumah tinggal beberapa ratus meter lagi.
Baru sejenak lelahku pulih, kulihat dari jauh orang banyak berjalan menuju ke arahku. Tak bisa kuhitung jumlahnya. Mungkin semua orang kampung ikut dalam barisan itu.
Kutarik tangan Ardi, tetangga sebayaku, ketika rombongannya lewat di hadapanku. Kutanyakan padanya tentang apa yang terjadi. Ia bilang di pantai sana ada mayat gadis yang ditemukan nelayan. Tanpa peduli dengan tubuhku yang lelah, aku pun mengikuti mereka..
Sesampainya di sana, kudapati orang-orang banyak berkerumun membentuk formasi hampir melingkar. Aku menerobosnya. Di tengah-tengah mereka, seorang gadis terbaring kaku dengan dua lubang seukuran kelereng menghitam di lehernya. Aku mengenalnya. Dia teman sekelasku. Akh! Bagaimana mungkin ini terjadi padanya. Setahuku ia tak punya musuh seorang pun. Siapa pelakunya?
***
Kejadian di pantai sepuluh hari yang lalu, ternyata berulang tiap dua hari. Lima korban telah dibuatnya tewas. Tapi aneh, semua korbannya remaja. Setelah teman sekelasku, dua hari setelahnya, giliran tetanggaku yang masih kelas tiga es-em-pe. Setelah itu dua kali berturut-turut, pelajar kelas satu es-em-a. Lalu yang terakhir, kakak kelasku, pelajar kelas tiga es-em-a.
Desas-desus tentang pelaku pembunuhan itu mulai terdengar. Ada yang beranggapan jika pelakunya itu orang yang tidak mau melihat anak-anak bersekolah tinggi-tinggi. Ada juga yang mengatakan, darah korban-korban itu akan dijadikan tumbal pesugihan. Entahlah mana yang benar. Aku tak mau berspekulasi.
Pandanganku terhenti pada gelang bambu kuning di pergelanganku. Bukankah kakek itu bilang gelang ini untuk melindungiku? Bukankah ia juga bilang kalau marabahaya akan melanda kampung ini? Dan bukankah yang beliau katakan telah terbukti?
“Kenapa nasinya tidak dimakan, Nak?” Suara ayah membangunkanku dari lamunan. Aku berusaha tersenyum membalas pertanyaannya.
“Ada apa, Nak?” Kali ini mamak yang bertanya.
“Tidak apa-apa, Mak!” Jawabku.
***
Malam baru saja beranjak menuju puncaknya. Namun, kantuk benar-benar tak bisa lagi kutahan. Mataku telah beberapa menit terpejam. Ada kunang-kunang yang kulihat di sana. Mula-mula seekor. Lalu menjadi dua. Menjadi empat. Menjadi delapan.Sampai akhirnya membentuk gugus-gugus.
Tiba-tiba tubuhku bergoyang sekali-sekali. Bukan gempa. Ada tangan yang kurasa menyentuh pinggulku. Dari sanalah mungkin goyangan itu bersumber. Mataku kembali kubuka. Kulihat sebuah senyum terbias dari bibir seorang kakek yang berdiri tegak di hadapanku. Kakek yang pernah menemuiku dahulu dengan cara yang sama.
“Kakek...?”
Aku mencoba bertanya, tapi telunjuknya dia naikkan tepat disaat huruf terakhir kuucapkan.
“Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Cucuku!” kata kakek itu.
Beliau meraih kursi belajarku, meletakkannya satu langkah dari tepi ranjangku. Ia duduk di sana. Aku bangun lalu duduk di hadapannya.
“Kau mau mendengar ceritaku?” tanya kakek itu. Aku hanya mengangguk.
Kakek itu pun bercerita, katanya tiga puluh tahun yang lalu, dua orang remaja beradik kakak dikejar oleh makhlukmenyeramkan. Makhluk bertaring panjang dengan kulit bersisik, air liurnya membanjir di kedua sudut bibirnya. Keduanya tertangkap. Sang kakak mendapat giliran pertama untuk terpaksa merelakan darahnya dihisap makhluk itu. Tapi, ketika makhluk itu mendekati sang adik, Ia tiba-tiba terlempar jauh.
Berkali-kali makhluk seram itu mencoba menghisap darah sang adik. Tapi, tetap saja ia tak bisa. Tiap kali ia mendekat, tubuhnya kembali terlempar.
“Kau tahu kenapa makhluk itu tak mampu mendekati si Adik?” tanya kakek padaku. Aku jelas menggeleng.
“Sebab, si adik memakai gelang bambu kuning seperti yang kau pakai sekarang, Cucuku!” jawab kakek.
“Kau mau tahu siapa yang menjelma menjadi makhluk menyeramkan itu, Cucuku?” tanya kakek itu lagi. Aku lagi-lagi menggeleng.
“Makhluk itu sebenarnya adalah ayah mereka sendiri. Ayahnya rela bersekutu dengan setan untuk bisa hidup layak dan terpandang. Salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah mengorbankan beberaparemaja. Mengumpulkan darahnya untuk dipersembahkan saat gerhana matahari tiba. Ketika matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis sejajar. Dan salah satu remaja itu haruslah anaknya sendiri” jelas kakek.
“Lalu apakah ada hubungannya dengan kejadian yang terjadi di sini?” tanyaku penasaran.
“Iya, Cucuku. Kejadian yang terjadi saat ini di sini sebenarnya adalah pengulangan dari kejadian yang kuceritakan padamu tadi,” jawab kakek.
“Dua hari ke depan gerhana matahari akan segera terjadi. Makhluk itu akan mencari korban terakhirnya. Paling lambat besok malam!” sambungnya.
***
Benar apa yang kakek katakan tadi malam, pembaca berita di televisi kini sibuk mengabarkan akan terjadinya gerhana matahari besok hari. Itu berarti sebentar malam akan jatuh satu korban lagi. Siapa dia? Aku jelas tak tahu.
***
Malam telah lama bertengger di puncaknya. Namun, entah kenapa kantuk benar-benar tak juga menghampiriku. Kuperhatikan dinding kamar selatan, Ada kunang-kunang yang kulihat di sana. Mula-mula seekor. Lalu menjadi dua, menjadi empat, menjadi delapan sampai akhirnya membentuk menjadi manusia. Bukan! Bukan manusia! Itu makhluk yang kakek pernah ceritakan padaku. Makhluk bertaring panjang dengan kulit bersisik, air liurnya membanjir di kedua sudut bibirnya.
Ia kulihat begitu berang menatapku. Aku ketakutan. Takut dengan tatapannya. Kuda-kuda ia pasang kuat-kuat. Ia menerjangku. Aku menutup mata. Akh! Suara gubrak berdebam keras, sesuatu sepertinya menghantam dinding kamarku. Kubuka mata perlahan. Ternyata makhluk itu yang terlempar.
Kakek yang memberiku gelang bambu kuning tiba-tiba saja berada di antara kami. Di hadapanku, juga di hadapan makhluk itu.
“Anakku! Dia ini anakmu. Janganlah kau jadikan dia sebagai tumbalmu!” kata kakekpada makhluk itu.
“Bukankah ayah juga pernah membunuh kakak, tiga puluh tahun silam?” jawab makhluk seram pada kakek itu.
Apa? Jadi…? Ya, Tuhan..!
Makassar, 18 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H