Mohon tunggu...
PELITA
PELITA Mohon Tunggu... Petani - Pelita (Pesan Literasi)

Ikatlah Ilmu dengan Tulisan. Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wisdom of The Moment

2 Februari 2020   17:46 Diperbarui: 2 Februari 2020   18:00 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauhnya harapan dan kenyataan merupakan suatu bukti akan ketidakberdayaan manusia untuk mewujudkan harapan-harapan itu. Namun apakah itu disebut penindasan ataukah ketidakadilan? Mungkin saja sebagian dari kita mengatakan bahwa hal tersebut ketidakadilan. 

Jika demikian adanya, siapa pelakunya dan apa motifnya? kepada siapa kita harus menuntut ketidakadilan tersebut? Kepada siapa kita lampiaskan kemarahan? buat siapa protes kita? Sederet pertanyaan ini akan menyeret kita pada suatu kesimpulan bahwa ternyata hidup ini butuh keseimbangan dan selalu berubah-ubah yang pada akhirnya kita akan menetapkan bahwa segala sesuatu lahir karena adanya oposisi.

Sebagian besar Penganut harmonis mengatakan bahwa hidup ini indah ketika tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi perbedaan, semuanya sama dalam satu tujuan. 

Pernyataan ini tidaklah salah tapi mungkin kurang tepat. Hidup tidak akan berputar kalau tidak ada perbedaan, tidak ada oposisi, tidak ada pertengkaran, tidak ada pertentangan. 

Bukankah bahagia itu ada ketika mampu menghadapi perubahan (oposisi). Perbedaan bukanlah sesuatu yang buruk hanya saja mungkin cara kerja kita mengontrol sesuatu yang berbeda masih butuh pembenahan.

Kita tidak akan pernah dapat memahami alam semesta ini dari satu sisi saja, begitu juga dengan isinya termasuk manusia. Dunia selalu berubah, manusia berubah, alam berubah, hakikat kehidupan berubah. Tidak ada yang mampu menjamin sekarang dan 5 menit ke depan akan masih tetap utuh atau tidak mengalami perubahan. Heraclitus membahasakannya "Panta Rhei Kai Uden Menei". 

Lalu adakah sesuatu yang sifatnya tetap (tidak berubah)? Ada yaitu perubahan itu sendiri (tetap pada perubahannya). Perubahan menimbulkan perbedaan, perbedaan melahirkan oposisi dan oposisi menemukan tujuan. Inilah siklus kehidupan yang tak terhindarkan.

Manusia dan oposisi akan selalu ada karena hidup ini dialektis, segala sesuatu yang terus berubah itu hanya bisa dilunakkan dengan cara kita mengontrolnya. Rasio yang menjadi hukum sekaligus penggerak perubahan itu. Kalau rasio yang kacau (tidak memiliki landasan filosofis) sebagai pengatura, maka oposisi yang ada akan kacau balau. Sebaliknya, apabila akal waras yang mengaturnya, maka oposisi bukanlah ancaman akan tetapi akan tampil sebagai keharmonisan.

Mungkin kita menganggap bahwa hidup miskin adalah kutukan sementara hidup kaya adalah berkah. Miskin atau kaya adalah berkah. Miskin adalah berkah untuk banyak bersabar, rendah hati, mengargai orang lain sementara kaya adalah berkah untuk sedekah. 

Pujian dan cacian bukanlah sesuatu yang kontradiksi. Pujian sebagai motivasi sementara cacian adalah mesin kesadaran diri akan kekurangan. Sesuatu yang buruk terjadi pada diri bukanlah ancaman tapi responsasi kita lah yang jadi ancamannya.

Hakikatnya, segala sesuatu memancarkan kebijaksanaan, segala sesuatu yang terjadi bukanlah hal baik atau buruk melainkan momentum untuk mengambil pelajaran. Orang bijak tidak akan menyia-nyiakan segala yang terjadi. "Wisdom of The Moment" adalah seseorang yang melihat segala sesuatu yang terjadi adalah kebaikan dan tidak ada keburukan yang terjadi di dunia ini.

Sesuatu yang buruk bukanlah ancaman melainkan bentuk lain dari keberkahan. Baik buruk di mata orang bijak adalah keindahan. Dalam Islam, Zainab (cucu Nabi) pernah berucap "Maa Roaitu illa Jamila" (segala sesuatu yang kulihat adalah keindahan) Beliau berucap ketika menyaksikan semua keluarganya mati terbantai termasuk Husein bin Ali bin Abi Thalib di tanah karbala. Inilah bentuk penglihatan yang sempurna. Inilah wisdom of the moment yang sesungguhnya.

Pada akhirnya baik buruk berada pada perbandingan. Baik buruk merupakan tangga naik turunnya sesuatu hanya saja yang membedakan adalah perspektif. Sesuatu yang buruk bukanlah ancaman tetapi yang jadi ancaman adalah sejauh mana kita menerima sesuatu yang buruk itu. Mari berusaha menjadi orang yang melihat segala sesuatu menjadi baik.

Usman Suil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun