Terlahir di perkampungan secara tidak langsung menjadikan anda sebagai manusia yang jumud. Setidaknya begitulah persepsi sebagian masyarakat yang tinggal di perkotaan. Perkampungan adalah tempat  yang jauh dari kemajuan teknologi dengan cara hidup yang terikat oleh berbagai aturan adat. Sangat kuno. Belum lagi bekerja di kampung tidak menjamin hasil yang memuaskan karena gaji yang pas-pasan. Lantas, apa menariknya tinggal di perkampungan? Menurut mereka, untuk terlihat keren, setidaknya anda harus berhijrah ke kota.
Benar adanya, bahwa sebagian besar masyarakat kampung lebih memilih untuk meniti jalan perantauan. Hidup yang berkecukupan membuatnya harus memilih jalan itu. Tidak lain hanya untuk menafkahi sanak keluarganya.Â
Bukan semata masalah ekonomi, minimnya fasilitas belajar-mengajar di perkampungan membuat para pemuda kampung yang haus akan ilmu pengetahuan rela angkat kaki dari tempat tinggalnya sendiri. Poin ke dua inilah yang masih dianggap sepele oleh pemerintah setempat. Jika segala pembangunan hanya terfokus pada properti tanpa membangun kemanusiaannya, maka masyarakat kampung akan semakin tertinggal jauh dari masyarakat kota.
Sangat berbeda dengan kondisi warga kota dengan segala kemajuan dan kemewahannya. Juga, semua fakultas-fakultas yang menjanjikan dan memadai  ada di sana. Bagi masyarakat kota, tentu akan sangat mudah untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki. Baik dalam hal ekonomi maupun dalam wilayah keilmuan. Semuanya memadai.
Namun, beberapa tahun silam, tepatnya saat bulan ramadhon, pondok pesantren yang saya tempati menimbah ilmu di Jakarta, mengadakan tabligh akbar untuk keliling Nusantara. Beberapa santri akan dikirim ke berbagai daerah dan pelosokan dalam rangka berbagi pengetahuan.Â
Targetnya pun berbeda-beda. Mulai dari orang dewasa, anak muda dan juga ibu-ibu. Kala itu saya diamanahkan untuk membawa materi di bererapa tempat. Â Mulai dari Gorontalo, Makassar dan Bantaeng. Semuanya masih tergolong tempat yang berbau dengan udara kota.
Tapi, kunjungan terkahir saya pada salah satu daerah di Polman, adalah sesuatu yang benar-benar lain. Â Masuk ke wilayah perkampungan yang jauh dari bisingnya nyanyian kendaraan. Namanya Pakkammisan. Hal yang tak terduga sama sekali, disuguhi oleh sesuatu yang sangat berbeda. Beberapa anak muda di kampung itu datang beramai-ramai lengkap dengan buku catatan dan pena di genggamannya, ini adalah peristiwa yang langka.Â
Sebab, tidak biasanya pemuda-pemuda kampung memiliki orientasi belajar yang tinggi. Kebanyakan hanya menyelesaikan studi sampai bangku SMA dan sederajatnya lalu mulai mencari pekerjaan. Alasannya sangat sederhana. Karna bekerja bagi segian orang lebih nyata ketimbang harus belajar dan memperdalam keilmuan.
Mulailah saya bertanya pada teman seperjuangan di pondok. Namanya Usman Suil. Beliau juga yang menjadi salah satu pendorong dan perintis di sana. Ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya.Â
Bagaimana tidak, untuk mengakali kebiasaan pemuda-pemuda kampung yang terbiasa hidup menghabiskan waktunya untuk sekedar nongkrong dengan alasan kebersamaan dan menyeretnya ke dalam lingkungan keilmuan yang terbilang kering dengan segala konsepnya, bisa dibilang mendekati hasil yang nihil.
Sempat saya terperanga manyimak cerita dari beliau. Sebab dia mengisahkan bahwa sebagian mereka dulunya adalah pemuda yang terbilang berandalan.
"Loh, lalu bagaiamana bisa mereka jadi seperti ini?" Tanyaku penasaran.
Dia mulai bercerita panjang. Tentang usahanya yang setiap malam datang membangunkan mereka untuk belajar. Sekalipun metode ini kurang tepat, pungkasnya. Sebab, lambat laun mereka mulai menghindarinya. Entah karena alasan apa, tapi intinya mereka tidak betah dengan metode belajar seperti itu.
Suil (panggilan akrab saya terhadap beliau) pun kembali mengintropeksi diri. Memikirkan metode apa yang paling ampuh untuk mengambil hati pemuda-pemuda ini. Mulailah dia melakukan pendekatan emosional dengan mengajaknya untuk berlibur di berbagai tempat sembari menyelipkan sedikit diskusi-diskusi yang menarik.Â
Walhasil, pemuda-pemuda ini pun mulai tertarik dengan berbagai tema yang beliau sampaikan dan berlahir untuk membentuk suatu organisasi yang hari ini kita dikenal dengan PULPEN (pemuda literasi dan perjuangan). Tapi beliau juga menyampaikan bahwa organisasi tersebut tidak akan pernah akan ada dan bisa bertahan sampai hari ini seandainya tidak dibantu oleh kawan lamanya yang juga sangat antuisias membangun pemuda desanya yakni Mahatir, Salim, Samsul dan Andi.
Masih banyak lagi yang beliau ceritakan dan tidak sempat saya rangkum dalam artikel singkat ini. Namun, satu hal yang membuat saya kagum. Karena dengan adanya organisasi PULPEN ini tentunya bisa menjadi batu loncatan untuk membenahi masyarakat perkampungan yang jauh dari ranah keilmuan dan perlahan menjadi masyarakat yang maju.Â
Entah masyarakat yang maju itu terwujud beberapa tahun lagi atau bahkan puluhan tahun lagi, itu bukanlah sesuatu yang penting. Jelasnya, selama Organisasi ini tetap konsisten dengan jalan literasinya dan tetap kokoh memperjuangkannya, maka tentu hasil tidak akan menghianati usaha mereka. Juga, dengan adanya organisasi ini, setidaknya bisa menjadi wadah bagi para pemuda yang haus dengan ilmu untuk menambah dan memperkaya wawasan sehingga menjadi generasi yang gemilang di masa mendatang.Â
Sebab, tak perlu berhijrah ke kota untuk menjadi sosok yang keren. Justru dengan belajar di kampung sendiri dan memiliki wawasan yang luas dan bisa memajukannya, tentu jauh lebih keren dari mereka yang belajar di kota dengan segala kemewahan dan wawasannya. Masyarakat kota tidak menyadari bahwa pemuda-pemuda kampung pun juga bisa bersaing dengan mereka. Itulah yang seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi organisasi PULPEN ini.
Hal terkahir yang ingin saya ungkapkan. "Kalian memang keren". Itu juga karena kalian pasti percaya, bahwa majunya suatu daerah sangat bergantung pada wawasan dan kerja keras yang dimilikinya. Dan pemuda adalah jantung yang akan meneruskan keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Penulis
Muhammad Idris
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H