Mohon tunggu...
Dedek Kusvianti
Dedek Kusvianti Mohon Tunggu... -

Kadang sharing itu penting

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kampung Budaya Sindangbarang Membudayakan Adu Jaten Parebut Se'eng

16 Juni 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_195083" align="alignnone" width="300" caption="Perguruan Cimande"][/caption] Berkunjung ke Kampung Budaya Sindangbarang, Bogor bukanlah hal yang pertama bagi saya. Sekitar dua tahun lalu saya pernah juga ke sini saat acara serentaun digelar. Daya tarik kampung Budaya ini tidak hanya dari acara puncak serentaun saja, karena hari ini, sabtu (16/6) saya berkesempatan melihat kegiatan budaya lain, yaitu Adu Jaten Parebut Se'eng yang tidak kalah menarik. Acara ini rutin diadakan setahun sekali dan tahun ini terkait dengan rangkaian acara Festival Budaya 7 Gunung, dimana puncak acaranya Minggu (17/6) besok. Karena cuaca yang panas terik, maka saat Adu Jaten dimulai, saya mencari posisi yang teduh. Tidak disangka ternyata saya malah bersebelahan dengan salah satu jurinya, Pak Wahyu Affandi Suradinata. Kesempatan, saya pun bisa mendapat cerita banyak dari beliau tentang acara ini.  Pak Wahyu bercerita bahwa Adu Jaten ini sebenarnya salah satu ritual pada saat acara besanan, dimana se'eng (dandang nasi) dibawa oleh pendekar dari pihak laki-laki untuk diserahkan kepada pihak wanita. Namun, penyerahannya tidak begitu saja, karena perwakilan dari pihak wanita harus merebutnya. Nah, disinilah acara perebutan ini terlihat seperti orang beradu ketangkasan. "Se'eng itu lambang kesejahteraan. makin banyak se'eng maka akan makin sejahtera", seraya menambahkan "tadinya dipakai saat besanan, namun sekarang mulai bergeser ke arah pelestarian budaya. Adu jaten ini satu-satunya di dunia lho dan asli Bogor", kata Pak Wahyu. [caption id="attachment_195080" align="alignnone" width="300" caption="Pak Wahyu Affendi "]

1339857680636026474
1339857680636026474
[/caption] Sebanyak 15 tim mengikuti acara ini, satu tim terdiri atas dua orang. Satu orang sebagai pendekar pembawa se'eng dan yang lain bertugas untuk merebutnya. Sambil memperhatikan satu persatu tim peserta menunjukkan aksinya, Pak Wahyu menjelaskan sistem penilaian yang diberikan. Hal pertama yang dinilai adalah Wiraga, mencakup cara bertanding menghadapi lawan, menangkis serangan, kuda-kuda, dan teknis-teknis beladiri; Wirahma mencakup kesesuaian dan keselarasan irama gendang dengan gerakan; Wirasa atau penghayatan; dan terakhir Wiracipta yaitu kesesuaian kostum yang dipakai, tampilan secara keseluruhan termasuk se'eng yang sebaiknya dihias. [caption id="attachment_195079" align="alignnone" width="300" caption="Pendekar pembawa se"]
13398572611939849392
13398572611939849392
[/caption] [caption id="attachment_195073" align="alignnone" width="300" caption="Aksi dari Cimande"]
13398559372033253292
13398559372033253292
[/caption] [caption id="attachment_195076" align="alignnone" width="300" caption="Mempertahankan se"]
1339856394702103414
1339856394702103414
[/caption] "Tim yang dari  Cimande ini bagus, mereka sengaja bawa orang sendiri untuk menabuh gendangnya. Jadi antara gerakan dan irama musiknya sangat sesuai. Ini biasanya karena pengalaman, sudah sering ikut pertandingan", tambah Pak Wahyu sambil menambahkan skor di kertas penilaian. Walaupun panas terik, tapi semua tim terlihat bersemangat menampilkan jurus-jurusnya. Bagi saya yang awam sekali dengan dunia silat-silatan begini, rasanya gerakan-gerakan mereka tidak ada cacatnya, lincah dan powerful. Beda dengan Pak Wahyu, beberapa kali beliau terlihat kecewa. "Harusnya gerakannya begini, bukan begini", kata pak Wahyu sambil mengayunkan tangannya kekanan dan kekiri. "Saya heran, makin tahun kualitasnya makin menurun. Banyak yang harus diluruskan. Variasi itu boleh tapi jangan sampai gemulai", kelakar Pak Wahyu sambil menunjuk jurus salah satu peserta. "Mungkin kurang latihan Pak", tambah saya sekenanya. Sambil memperhatikan peserta, obrolan berlanjut. Pak Wahyu ternyata adalah seorang pembuat kujang. Kujang itu sejenis senjata/golok yang seperti sudah menjadi simbol Kota Bogor. Beliau adalah satu-satunya pengrajin Kujang yang menerapkan tetekon/ pakem/ aturan baku pembuatan kujang yang masih tersisa. "Pesanan Kujang 60% berasal dari luar Bogor. kadang ada yang dari Bogor tapi itu bukan asli orang Bogor, namun orang luar daerah yang sudah lama tinggal di Bogor, heran", tambah pak Wahyu. Tidak terasa semua tim telah menampilkan kebolehannya, saatnya penentuan juara. Setelah di selingi hiburan silat dari para gadis, pemenang Adu Jaten pun dibacakan. Juara 1 dan 2 dipegang oleh Perguruan Cimande, sementara harapan 1 dan 2 dipegang oleh Perguruan Tunas Muda Indonesia. [caption id="attachment_195081" align="alignnone" width="300" caption="Piala untuk para juara"]
13398581631231965209
13398581631231965209
[/caption] Semoga masih ada Pak Wahyu - Pak Wahyu lain diluar sana yang masih memegang teguh budaya. Melestarikannya, agar tidak hanya menjadi cerita bagi anak cucu nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun